Cerita Pendek (Cerpen) - Wa’alaikumsalam Ra



Langit gelap
Suara petir saling bersahutan
Rapalan doa terdengar dimana-mana
Ia menundukkan kepala, jantungnya sudah berdebar tidak karuan, sementara pikirannya melambung entah kemana.  Mata hazelnya menatap lekat-lekat foto yang menjadi wallpaper handphone-nya itu.  Seorang wanita berjilbab merah yang tersenyum padanya.  Senyum tulus yang mungkin esok hari sudah menghilang dan tertinggal bersama kilauan dunia ini.
Butiran sebening kristal itu sudah menetas pelan dari mata kirinya.  Lisannya sibuk merapal doa, memanfaatkan waktu genting ini untuk amal terakhirnya.  Handphone di tangan kanannya  pun sudah terlempar entah kemana ketika pesawat mengalami getaran yang cukup dasyat beberapa saat yang lalu.
Ketika tangannya meraih alat bantu pernapasan yang baru saja keluar dari langit-langit pesawat, pesawat yang ia tumpangi kembali terguncang lalu terhentak jatuh setelah gagal menerjang badai.  Saat itu juga, ia sudah tidak peduli dengan pekikan orang lain ataupun jeritan tangis dari penumpang lain.  Ia hanya merapal syahadat dengan terbata lalu berbisik pelan.
“Maafkan aku, ma.”
Sedetik kemudian suara ledakan terdengar memekakan telinga.  Semuanya mendadak gelap dan sepi.  Seluruh asa pun sudah lenyap dari masing-masing sanubari dengan mata tertutup itu.
_____
Tubuh yang sudah terkulai lemah itu masih setia memeluk erat sayap pesawat.  Ombak telah membawanya pada tepian pantai bersama kepingan sayap kanan pesawat .  Jika di dunia ini memang ada keajaiban dan keberuntungan, maka laki-laki itu baru saja mendapat keduanya.  Meski matanya terpejam, namun ia masih bisa menghirup oksigen dengan perlahan.
“Eh kawan-kawan, ada orang disana!” Seorang laki-laki berkulit hitam berseru nyaring sembari menunjuk kearah puing pesawat yang mengambang di samping batuan karang.  Sekelompok laki-laki bertelanjang dada itu bergegas lari menerjang ombak kecil di sekitaran pantai.
Salah satu dari mereka memeriksa keadaan laki-laki yang terkulai lemas dengan  kepala terluka itu.  Ketika dirasanya laki-laki itu masih bernafas, dengan tergesa sekelompok pria berkulit hitam itu mengangkat tubuhnya.  Sekali lagi, laki-laki dengan mata terpejam itu beruntung. Beruntung masih memiliki kesempatan hidup untuk kedua kalinya.
_____
Mata hazel itu perlahan-lahan terbuka.  Selama beberapa saat mata itu menyipit, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk.  Devan mengerjapkan mata lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Langit-langit rumah dari daun kering dan dinding rumah dari kayu-kayu yang disatukan menyambut penglihatannya yang masih sedikit buram.  Semuanya terasa asing bagi laki-laki itu.  Devan meraba kepalanya yang dibalut perban lalu menghela nafas pelan.
“Aku dimana?” Gumamnya.  Dengan perlahan, ia mencoba duduk.  Ranjang dari kayu dan anyaman rotan itu berdecit pelan.
“Kau sudah sadar!” Seorang wanita berkulit gelap berseru nyaring bagai menemukan harta karun ketika melihat Devan.  Laki-laki itu terpenjat kaget dan menatap wanita itu heran.  Wanita itu bergegas menghampiri Devan, sepasang tangan kurusnya meletakkan nampan dengan mangkuk tanah liat diatasnya.
“Saya bawakan bubur. Mari dimakan!” Ucap wanita itu dengan aksen papua yang  begitu kental.  Ingin sekali Devan menolak ketika melihat bubur putih yang begitu kental itu, namun perutnya sudah merengek minta di isi.  Dengan terpaksa, Devan meraih mangkuk tanah liat itu lalu memakana sesuap bubur kental itu.
Kental, berlendir, dan hambar.  Ingin sekali Devan mengomentari rasa bubur itu dengan tiga kata tadi, namun Devan tidak tega berkata-kata ketika menatap sepasang mata hitam yang tengah berbinar itu.  Tiba-tiba laki-laki itu terdiam, ketika melihat wajah tersenyum wanita di hadapannya yang mengingatkan Devan pada ibunya. Mendadak, Devan merindukan ibunya, sampai-sampai setetes air mata sudah berjatuhan dengan pelan dari kedua matanya.
“Kamu kenapa?” Wanita berkulit gelap itu keheranan.
Devan mengusap air matanya lalu tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, bubur ini terlalu enak. Aku jadi terharu.”
_____
Sejauh mata memandang, yang dilihat sepasang mata hazel itu hanya hamparan pasir pantai juga lautan tak berujung.  Devan menghela nafasnya pelan, sudah dua hari ia terperangkap di pulau tanpa nama ini.  Tapi untungnya, ia terperangkap di pulau yang berpenghuni dan memiliki penduduk yang ramah padanya.  Jika otak pintar Devan menarik kesimpulan, maka penduduk disini adalah suku papua yang untungnya sebagian besar bisa berbahasa Indonesia.
“Devan, kau ingin ikut kami menombak ikan?” Beni, salah satu pemuda di pulau itu menghampiri Devan sembari membawa tombak kayunya.  Devan berpikir sebentar lalu mengangguk pelan.
“Kalau begitu kau ambil dulu tombak disamping rumahku!” Beni menunjuk rumahnya yang berada di dekat pohon kelapa yang menjulang tinggi. “Eh Devan! Kami tunggu kau di tepi pantai sana.” Jari telunjuknya beralih menunjuk sekelompok pemuda lainnya yang sudah berada di tepi pantai, bersiap untuk mencari ikan.
“Siap!” Devan bergegas mengambil tombaknya.  Jika biasanya ia menangkap ikan menggunakan pancingan, maka disini ia harus menangkapnya dengan bersusah payah menggunakan tombak.  Di pulau ini, penduduknya hanya mengenal alat-alat sederhana dari bahan alam, jauh dari tekhnologi.  Tapi sejauh pengamatan laki-laki itu, dengan segala keterbatasan yang ada, penduduk pulau terpencil ini dapat menjalani hidup mereka dengan baik.
Devan berlari menghampiri pemuda-pemuda yang sedari tadi sudah menunggunya. Masing-masing mereka sudah memegang tombaknya masing-masing, siap untuk berburu ikan-ikan yang bersembunyi dibalik terumbu karang.  Ikan-ikan itu sangat beragam, sebanding dengan habitatnya yang masih terjaga dengan baik.
“Devan siap?” Tanya Budi. Devan mengangguk.  Dalam hitungan ke tiga, sekelompok pemuda itu dengan semangat menceburkan dirinya kedalam air dengan tangan yang memegang erat tombak.  Tidak sampai satu menit, beberapa dari mereka sudah mengangkat tombak yang diujungnya tertancap ikan segar.
Dengan kecewa, Devan menghentikan kegiatan menyelamnya.  Tidak satupun ikan yang dapat ia tombak.  Laki-laki itu kembali ke tepian pantai dengan wajah masam.
“Sudahlah Devan, tak usah kau bersedih! Ada banyak sekali ikan yang kita tangkap, besok-besok lah kau coba tangkap lagi.  Nanti kita tangkap bersama-sama.” Beni menepuk pundak Devan, menyemangati laki-laki itu.  Yang lain pun ikut merangkul Devan.
Satu lagi hal yang sukar Devan temui di kota nanti, yaitu kekeluargaan yang ada di pulau ini.  Bagaimana mereka saling melengkapi.  Bagaimana mereka ikhlas berbagi dan bagaimana mereka saling tolong-menolong.  Tanpa sadar laki-laki bermata hazel itu tersenyum seraya bersyukur dalam hati.
_____
"Devan,” Maria, wanita yang merawat Devan sampai laki-laki itu terbangun ikut duduk disamping Devan.  Devan mengalihkan pandangannya dari sunset yang ia saksikan sedari tadi.  Ditatapnya wanita paruh baya itu, wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Ada apa?”
Tanpa berucap sepatah kata pun, Maria merogoh tas dari anyaman rotan.  Tak lama, tangannya sudah menggenggam sebuah alat berbentuk persegi panjang berwarna hitam.  Alis Devan tertaut heran.
“Bu Maria punya HP?”
“Jadi namanya HP?” Maria balik bertanya.  Devan mengangguk pelan.
“Bisa menggunakannya?” Devan mengambil HP itu lalu memeriksanya sekilas.
Maria menggeleng. “Itu milik anakku,” Kali ini Devan semakin heran mendengar pernyataan wanita itu.
“Anakku sudah lama pergi merantau, kira-kira sudah lima tahun lamanya. Tanpa kabar pula. Setahun yang lalu, sebuah kapal milik nelayan singgah di pulau ini. Nelayan itu bilang ada paket yang harus dikirimkannya ke pulau ini dan isi paket itu adalah hp dan nomer ini.”
Maria mengeluarkan secarik kertas usang dengan deretan nomor tertoreh diatasnya.   Devan diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Aku rindu anakku.  Aku ingat wajahnya, tapi aku lupa suaranya.  Orang bilang benda ini bisa membuatku mendengar suaranya.  Tapi benda ini sepertinya rusak. Kau bisa membantuku?”
Laki-laki bermata hazel itu memeriksa ulang HP itu, mencoba menghidupkannya.  Nihil, meskipun Devan sudah berulang kali menekan tombol powernya, HP itu tetap tidak menyala.   Devan menghela nafasnya. “Batrai nya habis,” Ucapnya kemudian.
Meski Maria tidak paham apa-apa, wanita berumur lima puluhan itu tetap mengangguk-anggukan kepalanya pelan.
“Kau ingin pulang,kan?” Maria berucap sembari memperhatikan matahari yang perlahan tenggelam dan menghilang di horizon, menyisakan langit jingga kemerahan di ufuk barat. “Mungkin beberapa hari lagi seseorang akan mencarimu kesini. Ya kan?”
Devan mengiyakan dengan gumaman pelannya.  Mata hazel milik laki-laki itu sibuk memandangi secercah warna jingga di langit yang hampir hilang. “Kau pasti rindu anakmu. Namanya siapa?”
“Namee.”
Tepat ketika sang surya terbenam sepenuhnya.  Mucak, kepala suku di pulau itu menghampiri Devan dan Maria sembari membawa sepotong ikan bakar yang ditusukan ke lidi ditangannya. “Mari kalian bergabung! Kita sedang mengadakan pesta makan-makan,” Ajak kakek tua itu.  Meskipun umurnya sudah hampir satu abad, tapi badannya masih terlihat kekar.
“Ayo Devan! Ada babi bakar pula.  Saya dan kepala keluarga lainnya habis berburu sore tadi.”
Devan melirik kearah pekarangan rumah Mucak.  Pekarangan rumah itu sudah dipenuhi seluruh penduduk pulau yang terdiri dari dua belas keluarga.  Mereka semua duduk melingkar mengelilingi api unggun.
Disamping api unggun terdapat batok kelapa yang sudah menjadi arang.  Dua kayu dipaku ke tanah, demi menopang seekor babi hutan yang sudah dibumbui dan sedang dibakar.  Beberapa wanita sibuk menyiapkan daun-daun lebar sebagai alas untuk meletakkan hidangan nantinya, sedangkan para pemuda pulau sibuk menusukan lidi ke masing-masing ikan untuk di panggang. Adapun para kepala keluarga, mereka terlihat serius karena sedang berdiskusi.
Maria bangkit berdiri, diikuti Devan yang berdiri setelahnya.  Mereka berdua pun bergegas bergabung bersama penduduk lainnya di dekat api unggun.  Devan mengambil tempat duduk disamping Beni yang sedang sibuk menyusun ikan untuk dibumbui.
“Hai Devan!” Sapanya.
“Hai! Biar kubantu.”
“Kau tolong angkat babi yang sudah matang itu!” Pinta Beni.  Devan mengangguk paham lalu bergegas mengangkat babi panggang yang digantung diatas bara api batok kelapa.  Ini pertama kalinya laki-laki itu melihat seekor babi di panggang.  Dengan takut, Devan meletakkan babi panggang itu diatas piring besar dari kayu.
Tak lama, segala persiapan untuk pesta makan malam itu pun selesai.  Ikan-ikan sudah selesai dipanggang.  Babi bakar pun sudah selesai di potong dan dihidangkan di masing-masing daun.  Semua penduduk pulau pun sudah duduk melingkari api unggun.
“Mau babi panggang?” Budi yang duduk disamping kiri Devan menawari laki-laki itu setusuk daging babi.  Dengan sigap Devan menggeleng lalu tersenyum tipis.
“Tidak, terima kasih. Saya tidak memakan daging babi,” Tolak Devan dengan halus.
Beni yang mendengarnya pun ikut heran. “Kenapa?”
“Saya muslim.” Beni dan Budi pun mengangguk paham lalu mengucapkan maaf.
“Saya pernah dengar ada orang yang tidak bisa makan babi.  Tapi tidak masalah, kau bisa makan ikan-ikan ini.” Mucak tiba-tiba datang membawakan setusuk ikan bakar.  Setelah mengucapkan terimakasih, Devan pun mengambil ikan bakar itu lalu melahapnya sampai habis.
Malam semakin larut, angin laut pun terasa dingin menusuk tulang.  Bintang-bintang di atas sana bertebaran, bagai pecahan berlian yang ditaburkan ke atas langit.  Devan menguap, matanya sudah hampir tertutup.  Tapi laki-laki itu dengan sekuat tenaga menahan kantuknya, demi menyaksikan indahnya kebersamaan penduduk pulau.
_____
“Sudah hampir seminggu pesawat RZ0432 dikabarkan jatuh di Samudra Pasifik.  Pesawat yang berangkat dari California dengan tujuan Jakarta itu mengalami naas dalam perjalanan.  Saat ini, pesawat jatuh itu sudah menelan korban sekitar delapan puluh orang dari seratus dua puluh penumpang pesawat dan awak kabin.  Sebanyak dua puluh orang penumpang dinyatakan hilang.......”
Seketika layar televisi menghitam ketika wanita itu memencet tombol merah pada remot yang ada ditangan kanannya.  Sejurus kemudian remot itu sudah jatuh kebawah meja bersamaan dengan isak tangis wanita itu yang semakin kencang.
Kinan berusaha keras menahan isak tangis yang keluar dari lisannya.  Hatinya sakit, tidak ada kata yang tepat untuk mendefinisikan perasaannya saat ini.  Berbagai penyesalan yang hadir pada ujung perkara menghampirinya.  Wanita yang baru saja menginjak umur lima puluh tahun itu menundukkan kepala, kata ‘jika’ memenuhi ruang pikirannya.
Jika saja waktu itu Kinan menjemput putra semata wayangnya.
Jika saja lima tahun yang lalu ia menahan putra tersayangnya itu untuk tidak pergi.
Ya, jika saja putranya itu tidak menelponnya seminggu yang lalu.
“Wa’alaikum salam. Ini siapa, ya?” Pagi itu, sebuah nomor tidak dikenal tiba-tiba muncul di layar handphone milik Kinan.  Meski tidak kenal, wanita itu tetap mengangkatnya.  Seseorang diujung telpon sana mengucap salam padanya.  Suara yang terdengar begitu familiar di telinga Kinan.
“Mama, ini Ra” Seketika itu juga air mata menetes pelan melewati pipi Kinan.  Suara itu, suara yang tidak pernah ia dengar selama lima tahun ini.  Suara yang sangat ia rindukan.  Segala rasa marah yang tersisa dari lima tahun yang lalu seakan menguap begitu saja.
“Ra sudah lulus kuliah disini.  Ra akan pulang sebentar lagi.  Mama tunggu Ra, ya!” Suara bariton laki-laki itu kembali terdengar disela isakan tangis Kinan.
Sadar yang ditelpon tidak kunjung menyahut, suara laki-laki diseberang sana kembali terdengar. “Ma, Mama baik-baik aja,kan?” Intonasinya terdengar sangat khawatir.  Kemudian Kinan mendengar suara koper yang diseret dan suara sayup-sayup dari pengumuman bandara. “Ma, Ra minta maaf, pesawat Ra sebentar lagi berangkat.  Assalamu’alaikum, Ma.”
Kinan tidak dapat bersuara.  Tidak dapat pula menjawab salam dari putranya.  Suaranya tercekat di tenggorokan, lidahnya pun terasa kelu.  Wanita itu diserang keterkejutan yang luar biasa.
Andai ia tahu, salam yang dilontarkan purtanya itu adalah salam terakhir sekaligus salam perpisahan.  Salam yang tidak akan pernah bisa dijawab lagi oleh Kinan.
“Mama belum menjawab salam mu, Ra. Bagaimana mama menjawabnya nanti jika kau tidak ada lagi di dunia ini?” Kinan berujar lirih.
_____
Devan sedang membantu Maria menyapu rumah ketika Beni berseru kencang memanggil namanya dari pekarangan rumah.  Pemuda berkulit hitam itu bersungut-sungut menunjuk ke langit dengan ekspresi antara takut dan tercengang.  Dengan tergesa, Devan keluar dari rumah lalu menengadah ke langit.  Mata hazelnya melihat helikopter hitam yang sedang bersiap mendarat di pulau.
Devan melompat-lompat sembari melambaikan tangan, memberi tahu dengan isyarat bahwa ada korban pesawat jatuh yang terdampar di pulau ini.  Beberapa menit kemudian, helikopter hitam itu sudah mendarat dengan mulus diatas hamparan pasir.  Dari dalamnya keluar lima orang laki-laki berperawakan tinggi tegap berseragam angkatan udara.
Sementara itu, banyak dari penduduk pulau yang keluar dari rumahnya masing-masing.  Mereka mendekat ke arah helikopter dengan wajah takut maupun heran.  Heran dengan benda besar terbang yang menguluarkan suara berisik sejak beberapa menit yang lalu.
Mucak si kepala suku bergegas berdiri disamping Devan.  Kakek tua itu menatap tajam lima orang pria yang turun dari helikopter. Salah satu pria itu angkat bicara. “Permisi, kami dari angkatan udara sedang bertugas mengepakuasi korban pesawat jatuh,” Mata sipitnya beralih menatap Devan. “Apa kau salah satu koban?”
Devan mengangguk mengiyakan. “Ya, seminggu yang lalu aku diselamatkan penduduk pulau ini.” Jelasnya.
Pria berseragam angkatan udara lainnya terlihat memanggil pilot yang ada didalam helikopter.  Memberi kode agar si pilot segera menghubungi kaptennya bahwa ada satu penumpang selamat yang ditemukan di pulau.
“Kalau begitu, naiklah ke dalam helikopter. Kami akan mengantarmu pulang.”
Devan tidak langsung bergegas masuk ke dalam helikopter.  Laki-laki itu berbalik, mata hazelnya mengedarkan pandangan, menatap satu persatu penduduk pulau dengan mata berkaca-kaca.  Tanpa aba-aba, Beni maju dari barisan para penduduk.  Pemuda berkulit hitam itu memeluk Devan lalu menjabat tangan Devan.
“Pulanglah kau!” Beni berucap dengan suara serak.
“Jangan sok suruh-suruh orang pulang lah kau Ben! Saya tahu kau tak rela dia pergi.” Budi sudah berdiri disamping Beni dan menepuk pundak temannya itu.  Beni merengut kesal.
Para penduduk bergantian mengucapkan selamat tinggal pada Devan.  Mereka berjabat tangan, memeluk Devan, lalu mengucapkan selamat tinggal pada Devan.  Tapi ada satu orang yang belum megucapkan perpisahan pada Devan.
“Devan!” Maria berlari terengah-engah menghampiri Devan yang dikerumbungi orang-orang.  Wanita itu membawa tas dari anyaman rotan.
“Bawa ini!” Maria menyodorkan tas anyaman rotan itu pada Devan.  Devan sudah tahu isi dari tas itu. “Kau mau, kan, bantu saya? Kalau kau dengar suaranya dari benda itu, bilang kalau saya menyuruhnya pulang.”
Devan mengangguk pelan lalu memeluk Maria. “Kau sudah seperti ibuku.” Ucap Devan. Tiba-tiba saja air mata menetes pelan dari kedua mata Maria.
Wanita yang sudah berumur kepala lima itu rasanya sudah menganggap Devan seperti anaknya sendiri selama ini. “Kau juga sudah kuanggap anakku.”
_____
Kering sudah air mata Kinan setelah menangis setiap hari karena menangisi kepergian anaknya. Tidak, bukan kepergian.  Kinan belum tahu pasti keadaan anaknya.  Wanita bermata sipit itu sudah pasrah.
Jika harapan yang ada pada dirinya dihitung persenannya, maka harapannya bernilai nol persen.  Kinan hanya bisa bertawakkal, memasrahkan segalanya pada sang pemilik semesta.
“Bu Daniswara, HP anda berbunyi sedari tadi.” Ara, pembantu rumah tangganya datang menghampiri Kinan sembari membawa HP.  Kinan segera mengangkat panggilan pada HP-nya. Sejenak alis wanita itu bertaut.
Tangannya bergetar ketika mengusap layar HP-nya.  Panggilan masuk dari pihak kepolisian.  Apakah ini saatnya ia mendengar kabar buruk perihal putranya?
“Ya, ini dengan ibu Kinan Daniswara,” Jawab Kinan.
Suara berat diseberang sana kembali menyahut.“Putra anda selamat.  Ia sedang dalam perjalanan pulang menemui anda,” .
“Apa?” Kinan mendengar dengan jelas pernyataan pak polisi diseberang sana perihal anaknya yang selamat.  Tapi wanita itu masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.  Ia masih tidak percaya dengan keajaiban yang didengarnya beberapa detik yang lalu.  Suara berat diseberang sana kembali mengulang ucapannya.
Tepat saat itu juga, suara bel rumah terdengar menggema di ruang tamu.  Ara dengan tergesa membukakan pintu rumah.  Didepan pintu, seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan luka yang hampir sembuh di kepalanya berdiri sambil tersenyum tipis.  Laki-laki itu melangkah masuk kedalam rumah bernuansa abu-abu itu.
Ketika laki-laki bermata hazel itu menatap Kinan, wanita yang sedang menjawab telpon itu langsung terpaku.  Kinan berucap pelan “Wa’alaikum salam, Ra.”
Devan memeluk ibunya erat. “Radevan Adrian Daniswara pulang, Ma.”
Sejauh apapun langkah kaki membawamu pergi, secepat apapun waktu mengejarmu untuk menjadi dewasa, dan sesukses apapun kamu meraih mimpi-mimpi besarmu.  Ia akan tetap berdiri disana, menunggu cerita-cerita panjangmu dan menunggumu pulang.  Karena kamu hanya punya satu tempat untuk kembali.  Karena kamu hanya punya satu tempat untuk pulang, pulang pada hangatnya pelukan ibu.
1 Tahun kemudian....
Semuanya masih sama.  Laut biru, batu-batu karang yang terlihat mempesona, maupun pasir pantai yang masih terlihat.  Sudah lama mata hazel laki-laki itu tidak melihat pulau yang ia rindukan ini.
Jika dulu keajaiban membawanya singgah pada pulau ini, maka sekarang ia datang dengan bersahaja untuk mengunjungi pulau ini.  Jika dulu ia terpaksa terjebak di pulau yang tak banyak di kenal orang ini, maka sekarang ia datang dengan ringan hati untuk menemui penduduk pulau ini. Dan jika dulu ia terdampar sendiri, maka sekarang ia datang membawa tiga orang.
“Ini tempatnya?” Kinan mengedarkan pandangannya ke sepenjuru pantai.  Wanita berkulit hitam disebelahnya mengangguk.
“Iya, ini kampung halaman saya,” Ara menjawab. “Terimakasih sudah membawa saya pulang.” Kinan tersenyum tipis lalu mengangguk.  Kerudung merahnya berkibar di tiup angin pantai.
Devan sudah berdiri didepan rumah kayu beratap daun itu.  Laki-laki itu segera memasuki rumah yang pernah ia tinggali selama seminggu itu. “Bu Maria,” Panggilnya.
Tak lama seorang wanita keluar dari sana, wanita yang sudah Devan anggap ibu keduanya.  Maria berdiri terpaku menatap kehadiran Devan. Laki-laki itu tersenyum tipis.
“Putrimu, Nameera Aranti.  Aku sudah menemukannya.  Putrimu ada diluar.”
Maria sudah tidak peduli dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya, yang ada di kepalanya hanya ada perintah untuk badannya agar segera berlari keluar.  Wanita itu bergegas keluar dari rumah.  Beberapa langkah lagi, putrinya sudah berdiri disana dengan mata yang berkaca-kaca.
Ara berlari, meninggalkan Kinan yang tersenyum haru.  Wanita itu memeluk ibunya erat. Ya, keduanya menangis haru dan saling melepas rindu. “Ibu, aku pulang.” Lirih Ara.

THE END
-RZS

Komentar