Cerita Pendek (Cerpen) - Wa’alaikumsalam Ra
Langit gelap
Suara petir saling bersahutan
Rapalan doa terdengar dimana-mana
Ia menundukkan kepala, jantungnya sudah
berdebar tidak karuan, sementara pikirannya melambung entah kemana. Mata hazelnya menatap lekat-lekat foto yang
menjadi wallpaper handphone-nya itu. Seorang wanita berjilbab merah yang tersenyum
padanya. Senyum tulus yang mungkin esok
hari sudah menghilang dan tertinggal bersama kilauan dunia ini.
Butiran sebening kristal itu sudah menetas
pelan dari mata kirinya. Lisannya sibuk
merapal doa, memanfaatkan waktu genting ini untuk amal terakhirnya. Handphone di tangan kanannya pun sudah terlempar entah kemana ketika
pesawat mengalami getaran yang cukup dasyat beberapa saat yang lalu.
Ketika tangannya meraih alat bantu pernapasan
yang baru saja keluar dari langit-langit pesawat, pesawat yang ia tumpangi
kembali terguncang lalu terhentak jatuh setelah gagal menerjang badai. Saat itu juga, ia sudah tidak peduli dengan
pekikan orang lain ataupun jeritan tangis dari penumpang lain. Ia hanya merapal syahadat dengan terbata lalu
berbisik pelan.
“Maafkan aku, ma.”
Sedetik kemudian suara ledakan terdengar
memekakan telinga. Semuanya mendadak
gelap dan sepi. Seluruh asa pun sudah
lenyap dari masing-masing sanubari dengan mata tertutup itu.
_____
Tubuh yang sudah terkulai lemah itu masih
setia memeluk erat sayap pesawat. Ombak
telah membawanya pada tepian pantai bersama kepingan sayap kanan pesawat . Jika di dunia ini memang ada keajaiban dan
keberuntungan, maka laki-laki itu baru saja mendapat keduanya. Meski matanya terpejam, namun ia masih bisa
menghirup oksigen dengan perlahan.
“Eh kawan-kawan, ada orang disana!” Seorang
laki-laki berkulit hitam berseru nyaring sembari menunjuk kearah puing pesawat
yang mengambang di samping batuan karang. Sekelompok laki-laki bertelanjang dada itu
bergegas lari menerjang ombak kecil di sekitaran pantai.
Salah satu dari mereka memeriksa keadaan
laki-laki yang terkulai lemas dengan
kepala terluka itu. Ketika
dirasanya laki-laki itu masih bernafas, dengan tergesa sekelompok pria berkulit
hitam itu mengangkat tubuhnya. Sekali
lagi, laki-laki dengan mata terpejam itu beruntung. Beruntung masih memiliki
kesempatan hidup untuk kedua kalinya.
_____
Mata hazel itu perlahan-lahan terbuka. Selama beberapa saat mata itu menyipit,
mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk. Devan
mengerjapkan mata lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Langit-langit rumah dari daun kering dan
dinding rumah dari kayu-kayu yang disatukan menyambut penglihatannya yang masih
sedikit buram. Semuanya terasa asing
bagi laki-laki itu. Devan meraba
kepalanya yang dibalut perban lalu menghela nafas pelan.
“Aku dimana?” Gumamnya. Dengan perlahan, ia mencoba duduk. Ranjang dari kayu dan anyaman rotan itu
berdecit pelan.
“Kau sudah sadar!” Seorang wanita berkulit
gelap berseru nyaring bagai menemukan harta karun ketika melihat Devan. Laki-laki itu terpenjat kaget dan menatap
wanita itu heran. Wanita itu bergegas
menghampiri Devan, sepasang tangan kurusnya meletakkan nampan dengan mangkuk
tanah liat diatasnya.
“Saya bawakan bubur. Mari dimakan!” Ucap
wanita itu dengan aksen papua yang
begitu kental. Ingin sekali Devan
menolak ketika melihat bubur putih yang begitu kental itu, namun perutnya sudah
merengek minta di isi. Dengan terpaksa,
Devan meraih mangkuk tanah liat itu lalu memakana sesuap bubur kental itu.
Kental, berlendir, dan hambar. Ingin sekali Devan mengomentari rasa bubur itu
dengan tiga kata tadi, namun Devan tidak tega berkata-kata ketika menatap
sepasang mata hitam yang tengah berbinar itu. Tiba-tiba laki-laki itu terdiam, ketika melihat
wajah tersenyum wanita di hadapannya yang mengingatkan Devan pada ibunya. Mendadak,
Devan merindukan ibunya, sampai-sampai setetes air mata sudah berjatuhan dengan
pelan dari kedua matanya.
“Kamu kenapa?” Wanita berkulit gelap itu
keheranan.
Devan mengusap air matanya lalu tersenyum
tipis. “Tidak apa-apa, bubur ini terlalu enak. Aku jadi terharu.”
_____
Sejauh mata memandang, yang dilihat sepasang
mata hazel itu hanya hamparan pasir pantai juga lautan tak berujung. Devan menghela nafasnya pelan, sudah dua hari
ia terperangkap di pulau tanpa nama ini.
Tapi untungnya, ia terperangkap di pulau yang berpenghuni dan memiliki
penduduk yang ramah padanya. Jika otak
pintar Devan menarik kesimpulan, maka penduduk disini adalah suku papua yang
untungnya sebagian besar bisa berbahasa Indonesia.
“Devan, kau ingin ikut kami menombak ikan?”
Beni, salah satu pemuda di pulau itu menghampiri Devan sembari membawa tombak
kayunya. Devan berpikir sebentar lalu
mengangguk pelan.
“Kalau begitu kau ambil dulu tombak disamping
rumahku!” Beni menunjuk rumahnya yang berada di dekat pohon kelapa yang
menjulang tinggi. “Eh Devan! Kami tunggu kau di tepi pantai sana.” Jari
telunjuknya beralih menunjuk sekelompok pemuda lainnya yang sudah berada di
tepi pantai, bersiap untuk mencari ikan.
“Siap!” Devan bergegas mengambil tombaknya. Jika biasanya ia menangkap ikan menggunakan
pancingan, maka disini ia harus menangkapnya dengan bersusah payah menggunakan
tombak. Di pulau ini, penduduknya hanya
mengenal alat-alat sederhana dari bahan alam, jauh dari tekhnologi. Tapi sejauh pengamatan laki-laki itu, dengan
segala keterbatasan yang ada, penduduk pulau terpencil ini dapat menjalani
hidup mereka dengan baik.
Devan berlari menghampiri pemuda-pemuda yang
sedari tadi sudah menunggunya. Masing-masing mereka sudah memegang tombaknya masing-masing,
siap untuk berburu ikan-ikan yang bersembunyi dibalik terumbu karang. Ikan-ikan itu sangat beragam, sebanding dengan
habitatnya yang masih terjaga dengan baik.
“Devan siap?” Tanya Budi. Devan mengangguk. Dalam hitungan ke tiga, sekelompok pemuda itu
dengan semangat menceburkan dirinya kedalam air dengan tangan yang memegang
erat tombak. Tidak sampai satu menit,
beberapa dari mereka sudah mengangkat tombak yang diujungnya tertancap ikan
segar.
Dengan kecewa, Devan menghentikan kegiatan
menyelamnya. Tidak satupun ikan yang
dapat ia tombak. Laki-laki itu kembali
ke tepian pantai dengan wajah masam.
“Sudahlah Devan, tak usah kau bersedih! Ada
banyak sekali ikan yang kita tangkap, besok-besok lah kau coba tangkap lagi. Nanti kita tangkap bersama-sama.” Beni menepuk
pundak Devan, menyemangati laki-laki itu. Yang lain pun ikut merangkul Devan.
Satu lagi hal yang sukar Devan temui di kota
nanti, yaitu kekeluargaan yang ada di pulau ini. Bagaimana mereka saling melengkapi. Bagaimana mereka ikhlas berbagi dan bagaimana
mereka saling tolong-menolong. Tanpa
sadar laki-laki bermata hazel itu tersenyum seraya bersyukur dalam hati.
_____
"Devan,” Maria, wanita yang merawat Devan
sampai laki-laki itu terbangun ikut duduk disamping Devan. Devan mengalihkan pandangannya dari sunset
yang ia saksikan sedari tadi. Ditatapnya
wanita paruh baya itu, wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Ada apa?”
Tanpa berucap sepatah kata pun, Maria merogoh
tas dari anyaman rotan. Tak lama,
tangannya sudah menggenggam sebuah alat berbentuk persegi panjang berwarna
hitam. Alis Devan tertaut heran.
“Bu Maria punya HP?”
“Jadi namanya HP?” Maria balik bertanya. Devan mengangguk pelan.
“Bisa menggunakannya?” Devan mengambil HP itu
lalu memeriksanya sekilas.
Maria menggeleng. “Itu milik anakku,” Kali ini
Devan semakin heran mendengar pernyataan wanita itu.
“Anakku sudah lama pergi merantau, kira-kira
sudah lima tahun lamanya. Tanpa kabar pula. Setahun yang lalu, sebuah kapal
milik nelayan singgah di pulau ini. Nelayan itu bilang ada paket yang harus
dikirimkannya ke pulau ini dan isi paket itu adalah hp dan nomer ini.”
Maria mengeluarkan secarik kertas usang dengan
deretan nomor tertoreh diatasnya. Devan diam, menunggu kalimat selanjutnya.
“Aku rindu anakku. Aku ingat wajahnya, tapi aku lupa suaranya. Orang bilang benda ini bisa membuatku
mendengar suaranya. Tapi benda ini
sepertinya rusak. Kau bisa membantuku?”
Laki-laki bermata hazel itu memeriksa ulang HP
itu, mencoba menghidupkannya. Nihil,
meskipun Devan sudah berulang kali menekan tombol powernya, HP itu tetap tidak
menyala. Devan menghela nafasnya.
“Batrai nya habis,” Ucapnya kemudian.
Meski Maria tidak paham apa-apa, wanita
berumur lima puluhan itu tetap mengangguk-anggukan kepalanya pelan.
“Kau ingin pulang,kan?” Maria berucap sembari
memperhatikan matahari yang perlahan tenggelam dan menghilang di horizon,
menyisakan langit jingga kemerahan di ufuk barat. “Mungkin beberapa hari lagi
seseorang akan mencarimu kesini. Ya kan?”
Devan mengiyakan dengan gumaman pelannya. Mata hazel milik laki-laki itu sibuk
memandangi secercah warna jingga di langit yang hampir hilang. “Kau pasti rindu
anakmu. Namanya siapa?”
“Namee.”
Tepat ketika sang surya terbenam sepenuhnya. Mucak, kepala suku di pulau itu menghampiri
Devan dan Maria sembari membawa sepotong ikan bakar yang ditusukan ke lidi
ditangannya. “Mari kalian bergabung! Kita sedang mengadakan pesta makan-makan,”
Ajak kakek tua itu. Meskipun umurnya
sudah hampir satu abad, tapi badannya masih terlihat kekar.
“Ayo Devan! Ada babi bakar pula. Saya dan kepala keluarga lainnya habis berburu
sore tadi.”
Devan melirik kearah pekarangan rumah Mucak. Pekarangan rumah itu sudah dipenuhi seluruh
penduduk pulau yang terdiri dari dua belas keluarga. Mereka semua duduk melingkar mengelilingi api
unggun.
Disamping api unggun terdapat batok kelapa
yang sudah menjadi arang. Dua kayu
dipaku ke tanah, demi menopang seekor babi hutan yang sudah dibumbui dan sedang
dibakar. Beberapa wanita sibuk
menyiapkan daun-daun lebar sebagai alas untuk meletakkan hidangan nantinya,
sedangkan para pemuda pulau sibuk menusukan lidi ke masing-masing ikan untuk di
panggang. Adapun para kepala keluarga, mereka terlihat serius karena sedang
berdiskusi.
Maria bangkit berdiri, diikuti Devan yang
berdiri setelahnya. Mereka berdua pun
bergegas bergabung bersama penduduk lainnya di dekat api unggun. Devan mengambil tempat duduk disamping Beni
yang sedang sibuk menyusun ikan untuk dibumbui.
“Hai Devan!” Sapanya.
“Hai! Biar kubantu.”
“Kau tolong angkat babi yang sudah matang
itu!” Pinta Beni. Devan mengangguk paham
lalu bergegas mengangkat babi panggang yang digantung diatas bara api batok
kelapa. Ini pertama kalinya laki-laki
itu melihat seekor babi di panggang. Dengan
takut, Devan meletakkan babi panggang itu diatas piring besar dari kayu.
Tak lama, segala persiapan untuk pesta makan
malam itu pun selesai. Ikan-ikan sudah
selesai dipanggang. Babi bakar pun sudah
selesai di potong dan dihidangkan di masing-masing daun. Semua penduduk pulau pun sudah duduk
melingkari api unggun.
“Mau babi panggang?” Budi yang duduk disamping
kiri Devan menawari laki-laki itu setusuk daging babi. Dengan sigap Devan menggeleng lalu tersenyum
tipis.
“Tidak, terima kasih. Saya tidak memakan
daging babi,” Tolak Devan dengan halus.
Beni yang mendengarnya pun ikut heran.
“Kenapa?”
“Saya muslim.” Beni dan Budi pun mengangguk
paham lalu mengucapkan maaf.
“Saya pernah dengar ada orang yang tidak bisa
makan babi. Tapi tidak masalah, kau bisa
makan ikan-ikan ini.” Mucak tiba-tiba datang membawakan setusuk ikan bakar. Setelah mengucapkan terimakasih, Devan pun
mengambil ikan bakar itu lalu melahapnya sampai habis.
Malam semakin larut, angin laut pun terasa
dingin menusuk tulang. Bintang-bintang
di atas sana bertebaran, bagai pecahan berlian yang ditaburkan ke atas langit. Devan menguap, matanya sudah hampir tertutup. Tapi laki-laki itu dengan sekuat tenaga
menahan kantuknya, demi menyaksikan indahnya kebersamaan penduduk pulau.
_____
“Sudah hampir
seminggu pesawat RZ0432 dikabarkan jatuh di Samudra Pasifik. Pesawat yang berangkat dari California dengan
tujuan Jakarta itu mengalami naas dalam perjalanan. Saat ini, pesawat jatuh itu sudah menelan korban
sekitar delapan puluh orang dari seratus dua puluh penumpang pesawat dan awak
kabin. Sebanyak dua puluh orang
penumpang dinyatakan hilang.......”
Seketika layar televisi menghitam ketika
wanita itu memencet tombol merah pada remot yang ada ditangan kanannya. Sejurus kemudian remot itu sudah jatuh kebawah
meja bersamaan dengan isak tangis wanita itu yang semakin kencang.
Kinan berusaha keras menahan isak tangis yang
keluar dari lisannya. Hatinya sakit, tidak
ada kata yang tepat untuk mendefinisikan perasaannya saat ini. Berbagai penyesalan yang hadir pada ujung
perkara menghampirinya. Wanita yang baru
saja menginjak umur lima puluh tahun itu menundukkan kepala, kata ‘jika’
memenuhi ruang pikirannya.
Jika saja waktu itu Kinan menjemput putra
semata wayangnya.
Jika saja lima tahun yang lalu ia menahan
putra tersayangnya itu untuk tidak pergi.
Ya, jika saja putranya itu tidak menelponnya
seminggu yang lalu.
“Wa’alaikum
salam. Ini siapa, ya?” Pagi itu, sebuah nomor tidak dikenal tiba-tiba muncul di
layar handphone milik Kinan. Meski tidak
kenal, wanita itu tetap mengangkatnya. Seseorang
diujung telpon sana mengucap salam padanya. Suara yang terdengar begitu familiar di
telinga Kinan.
“Mama, ini Ra”
Seketika itu juga air mata menetes pelan melewati pipi Kinan. Suara itu, suara yang tidak pernah ia dengar
selama lima tahun ini. Suara yang sangat
ia rindukan. Segala rasa marah yang
tersisa dari lima tahun yang lalu seakan menguap begitu saja.
“Ra sudah lulus
kuliah disini. Ra akan pulang sebentar
lagi. Mama tunggu Ra, ya!” Suara bariton
laki-laki itu kembali terdengar disela isakan tangis Kinan.
Sadar yang
ditelpon tidak kunjung menyahut, suara laki-laki diseberang sana kembali
terdengar. “Ma, Mama baik-baik aja,kan?” Intonasinya terdengar sangat khawatir.
Kemudian Kinan mendengar suara koper
yang diseret dan suara sayup-sayup dari pengumuman bandara. “Ma, Ra minta maaf,
pesawat Ra sebentar lagi berangkat. Assalamu’alaikum, Ma.”
Kinan tidak
dapat bersuara. Tidak dapat pula
menjawab salam dari putranya. Suaranya
tercekat di tenggorokan, lidahnya pun terasa kelu. Wanita itu diserang keterkejutan yang luar
biasa.
Andai ia tahu, salam yang dilontarkan purtanya
itu adalah salam terakhir sekaligus salam perpisahan. Salam yang tidak akan pernah bisa dijawab lagi
oleh Kinan.
“Mama belum menjawab salam mu, Ra. Bagaimana
mama menjawabnya nanti jika kau tidak ada lagi di dunia ini?” Kinan berujar
lirih.
_____
Devan sedang membantu Maria menyapu rumah
ketika Beni berseru kencang memanggil namanya dari pekarangan rumah. Pemuda berkulit hitam itu bersungut-sungut
menunjuk ke langit dengan ekspresi antara takut dan tercengang. Dengan tergesa, Devan keluar dari rumah lalu
menengadah ke langit. Mata hazelnya
melihat helikopter hitam yang sedang bersiap mendarat di pulau.
Devan melompat-lompat sembari melambaikan
tangan, memberi tahu dengan isyarat bahwa ada korban pesawat jatuh yang
terdampar di pulau ini. Beberapa menit
kemudian, helikopter hitam itu sudah mendarat dengan mulus diatas hamparan
pasir. Dari dalamnya keluar lima orang laki-laki
berperawakan tinggi tegap berseragam angkatan udara.
Sementara itu, banyak dari penduduk pulau yang
keluar dari rumahnya masing-masing. Mereka
mendekat ke arah helikopter dengan wajah takut maupun heran. Heran dengan benda besar terbang yang menguluarkan
suara berisik sejak beberapa menit yang lalu.
Mucak si kepala suku bergegas berdiri
disamping Devan. Kakek tua itu menatap
tajam lima orang pria yang turun dari helikopter. Salah satu pria itu angkat
bicara. “Permisi, kami dari angkatan udara sedang bertugas mengepakuasi korban
pesawat jatuh,” Mata sipitnya beralih menatap Devan. “Apa kau salah satu
koban?”
Devan mengangguk mengiyakan. “Ya, seminggu
yang lalu aku diselamatkan penduduk pulau ini.” Jelasnya.
Pria berseragam angkatan udara lainnya
terlihat memanggil pilot yang ada didalam helikopter. Memberi kode agar si pilot segera menghubungi
kaptennya bahwa ada satu penumpang selamat yang ditemukan di pulau.
“Kalau begitu, naiklah ke dalam helikopter.
Kami akan mengantarmu pulang.”
Devan tidak langsung bergegas masuk ke dalam
helikopter. Laki-laki itu berbalik, mata
hazelnya mengedarkan pandangan, menatap satu persatu penduduk pulau dengan mata
berkaca-kaca. Tanpa aba-aba, Beni maju
dari barisan para penduduk. Pemuda
berkulit hitam itu memeluk Devan lalu menjabat tangan Devan.
“Pulanglah kau!” Beni berucap dengan suara
serak.
“Jangan sok suruh-suruh orang pulang lah kau
Ben! Saya tahu kau tak rela dia pergi.” Budi sudah berdiri disamping Beni dan
menepuk pundak temannya itu. Beni
merengut kesal.
Para penduduk bergantian mengucapkan selamat
tinggal pada Devan. Mereka berjabat
tangan, memeluk Devan, lalu mengucapkan selamat tinggal pada Devan. Tapi ada satu orang yang belum megucapkan
perpisahan pada Devan.
“Devan!” Maria berlari terengah-engah
menghampiri Devan yang dikerumbungi orang-orang. Wanita itu membawa tas dari anyaman rotan.
“Bawa ini!” Maria menyodorkan tas anyaman
rotan itu pada Devan. Devan sudah tahu
isi dari tas itu. “Kau mau, kan, bantu saya? Kalau kau dengar suaranya dari
benda itu, bilang kalau saya menyuruhnya pulang.”
Devan mengangguk pelan lalu memeluk Maria.
“Kau sudah seperti ibuku.” Ucap Devan. Tiba-tiba saja air mata menetes pelan
dari kedua mata Maria.
Wanita yang sudah berumur kepala lima itu
rasanya sudah menganggap Devan seperti anaknya sendiri selama ini. “Kau juga
sudah kuanggap anakku.”
_____
Kering sudah air mata Kinan setelah menangis
setiap hari karena menangisi kepergian anaknya. Tidak, bukan kepergian. Kinan belum tahu pasti keadaan anaknya. Wanita bermata sipit itu sudah pasrah.
Jika harapan yang ada pada dirinya dihitung
persenannya, maka harapannya bernilai nol persen. Kinan hanya bisa bertawakkal, memasrahkan
segalanya pada sang pemilik semesta.
“Bu Daniswara, HP anda berbunyi sedari tadi.”
Ara, pembantu rumah tangganya datang menghampiri Kinan sembari membawa HP. Kinan segera mengangkat panggilan pada HP-nya.
Sejenak alis wanita itu bertaut.
Tangannya bergetar ketika mengusap layar
HP-nya. Panggilan masuk dari pihak
kepolisian. Apakah ini saatnya ia
mendengar kabar buruk perihal putranya?
“Ya, ini dengan ibu Kinan Daniswara,” Jawab
Kinan.
Suara berat diseberang sana kembali menyahut.“Putra
anda selamat. Ia sedang dalam perjalanan
pulang menemui anda,” .
“Apa?” Kinan mendengar dengan jelas pernyataan
pak polisi diseberang sana perihal anaknya yang selamat. Tapi wanita itu masih tidak percaya dengan apa
yang didengarnya. Ia masih tidak percaya
dengan keajaiban yang didengarnya beberapa detik yang lalu. Suara berat diseberang sana kembali mengulang
ucapannya.
Tepat saat itu juga, suara bel rumah terdengar
menggema di ruang tamu. Ara dengan
tergesa membukakan pintu rumah. Didepan
pintu, seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan luka yang hampir sembuh di kepalanya
berdiri sambil tersenyum tipis. Laki-laki itu melangkah masuk kedalam rumah
bernuansa abu-abu itu.
Ketika laki-laki bermata hazel itu menatap
Kinan, wanita yang sedang menjawab telpon itu langsung terpaku. Kinan berucap pelan “Wa’alaikum salam, Ra.”
Devan memeluk ibunya erat. “Radevan Adrian
Daniswara pulang, Ma.”
Sejauh apapun langkah kaki membawamu pergi, secepat
apapun waktu mengejarmu untuk menjadi dewasa, dan sesukses apapun kamu meraih
mimpi-mimpi besarmu. Ia akan tetap
berdiri disana, menunggu cerita-cerita panjangmu dan menunggumu pulang. Karena kamu hanya punya satu tempat untuk
kembali. Karena kamu hanya punya satu
tempat untuk pulang, pulang pada hangatnya pelukan ibu.
1 Tahun
kemudian....
Semuanya masih sama. Laut biru, batu-batu karang yang terlihat
mempesona, maupun pasir pantai yang masih terlihat. Sudah lama mata hazel laki-laki itu tidak
melihat pulau yang ia rindukan ini.
Jika dulu keajaiban membawanya singgah pada
pulau ini, maka sekarang ia datang dengan bersahaja untuk mengunjungi pulau
ini. Jika dulu ia terpaksa terjebak di
pulau yang tak banyak di kenal orang ini, maka sekarang ia datang dengan ringan
hati untuk menemui penduduk pulau ini. Dan jika dulu ia terdampar sendiri, maka
sekarang ia datang membawa tiga orang.
“Ini tempatnya?” Kinan mengedarkan
pandangannya ke sepenjuru pantai. Wanita
berkulit hitam disebelahnya mengangguk.
“Iya, ini kampung halaman saya,” Ara menjawab.
“Terimakasih sudah membawa saya pulang.” Kinan tersenyum tipis lalu mengangguk.
Kerudung merahnya berkibar di tiup angin
pantai.
Devan sudah berdiri didepan rumah kayu beratap
daun itu. Laki-laki itu segera memasuki
rumah yang pernah ia tinggali selama seminggu itu. “Bu Maria,” Panggilnya.
Tak lama seorang wanita keluar dari sana, wanita
yang sudah Devan anggap ibu keduanya. Maria
berdiri terpaku menatap kehadiran Devan. Laki-laki itu tersenyum tipis.
“Putrimu, Nameera Aranti. Aku sudah menemukannya. Putrimu ada diluar.”
Maria sudah tidak peduli dengan air mata yang
mengalir di pipi tirusnya, yang ada di kepalanya hanya ada perintah untuk
badannya agar segera berlari keluar. Wanita itu bergegas keluar dari rumah. Beberapa langkah lagi, putrinya sudah berdiri
disana dengan mata yang berkaca-kaca.
Ara berlari, meninggalkan Kinan yang tersenyum
haru. Wanita itu memeluk ibunya erat.
Ya, keduanya menangis haru dan saling melepas rindu. “Ibu, aku pulang.” Lirih
Ara.
THE END
-RZS
Komentar
Posting Komentar
silahkan berkomentar :)