Sosok Abu Bakar As-Siddiq sebagai Khalil Rasulullah Sekaligus Khalifah Pertama Umat Islam
"Aku
belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku
seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil
(teman), maka Abu Bakar-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini
dalam iman. Sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."
Kiranya
ungkapan itulah yang diutarakan Rasulullah SAW ketika beliau tengah dalam
kondisi sakit, namun tetap berhadir di tengah-tengah kaum Muslim di masjid.
Semua pintu masjid kala itu diperintahkan Rasulullah SAW untuk ditutup, kecuali
satu pintu, yaitu pintu ke tempat Abu Bakar.
Abu Bakar
sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW yang pertama kali beriman tentunya memiliki
tempat tersendiri di hati beliau, dimana Abu Bakar lah satu-satunya yang
menemani Rasulullah ketika bersembunyi di Gua Tsur dari kejaran orang-orang
Quraisy. Abu Bakar pula yang dipilih Nabi Muhammad SAW untuk menggantikan
beliau menjadi imam shalat ketia beliau tengah jatuh sakit.
Ada banyak
sekali perjalanan yang ditorehkan oleh Abu Bakar As-Siddiq ketika membersamai
Rasulullah SAW. Perjalanan yang penuh dengan lika-liku, suka-duka, namun
semakin memperkuat keimanan dan cinta. Bahkan, rasanya catatan sejarah pun
tidak mampu menggambarkan perjalanan itu secara tuntas dan rinci. Akan tetapi,
di setiap kisah dari gambaran sejarah itu tetap mampu membuat hati para
pembacanya bergetar dan merasakan bagaimana sosok Abu Bakar yang lemah lembut,
tenang, sekaligus bijaksana selalu hadir dalam setiap perjuangan membela Islam
bersama Rasulullah.
Ketika Rasulullah
SAW wafat, umat muslim ditimpa kesedihan mendalam sekaligus kebingungan arah.
Jika ada sahabat yang paling merasa kehilangan, maka seharusnya Abu Bakarlah
orangnya. Akan tetapi, Abu Bakar dengan tegar menerima berita sedih itu.
"Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya waktu
engkau wafat."
Kesedihan yang
meliputi Abu Bakar saat itu tidak sampai membuat sosok Abu Bakar kebingungan.
Abu Bakar keluar menemui umat muslim usai pidato Umar bin Khattab yang
menyatakan bahwasanya Rasulullah tidak meninggal, melainkan sedang pergi
menghadap Tuhan sebagaimana Musa bin Imran yang menghilang dari kaumnya selama
empat puluh malam.
"Saudara-saudara!
Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang
siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tidak pernah mati." Ucap Abu
Bakar di tengah kesedihan muslimin hari itu. Kemudian Abu Bakar membacakan ayat
Qur'an, tepatnya ayat ke-144 dari Surah Ali Imran.
Kalimat yang
diutarakan Abu Bakar serta ayat Qur'an yang dibacakan beliau hari itu membuat
semua orang terdiam dan menyadari kenyataan di tengah kebingungan mereka
beberapa saat yang lalu. Dari ungkapan Abu Bakar itu pula tergambarkan sosoknya
yang kuat dalam menerima kenyataan, meskipun Abu Bakar terlihat sebagai orang
yang lemah lembut dalam sehari-hari.
Sepeninggal
Rasulullah SAW, munculah perdebatan mengenai siapa yang akan memegang tampuk
kepemimpinan wilayah Islam yang sudah meluas ke berbagai penjuru jazirah Arab.
Bahkan, kaum ansar sudah berkumpul di Saqifah Bani Sa'idah yang ingin
menjadikan Sa'ad bin Ubadah sebagai pemimpin.
Para sahabat
Rasulullah SAW menyadari bahwa masalah kepemimpinan ini adalah persoalan
penting yang tidak bisa ditinggalkan. Maka Abu Bakar dan Umar bin Khattab
beserta Abu Ubaidah bin Jarrah berangkat dengan segera ke Saqifah Bani Sa'idah,
sementara pemakaman Rasulullah SAW diurus para keluarga maupun sahabat yang
lainnya.
Pertemuan di
Saqifah Bani Sa'idah saat itu adalah salah satu pertemuan penting dalam sejarah
umat Islam, yang mana jikalau persoalan pemimpin umat Islam hari itu tidak
terselesaikan dengan baik, sangat rawan terjadi perpecahan maupun pemberontakan
dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Pada pertemuan itu, 'serangan damai' yang
biasa dikenal dalam politik dilancarkan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab,
maupun Abu Ubaidah bin Jarrah.
Kala itu, Abu
Bakar mampu menganalisis keadaan dengan sangat baik. Ketika Umar bin Khattab
mengajukan diri untuk membuka pembicaraan, Abu Bakar berkata pada Umar,
"Sabarlah, aku yang akan bicara. Sesudah itu boleh kau bicara
sesukamu," Kata-kata yang diungkapkan Abu Bakar ini tidak menghilangkan
hak Umar bin Khattab untuk berbicara, tetapi tetap dapat menjaga situasi agar
tidak mengarah pada cara-cara kekerasan, karena Abu Bakar mengkhawatirkan sikap
Umar yang keras bila berbicara. Maka dari itu, Abu Bakar berdiri dan mengantar
pembicaraan dengan baik.
Sebagaimana
dikutip dalam buku Abu Bakr As-Siddiq karya Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar
menyampaikan pidato pertamanya kepada Ansar di Saqifah Bani Sa'idah hari itu:
"...Orang-orang
Arab itu berat sekali untuk meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kaum
Muhajirin yang niula-mula dari masyarakat Nabi sendiri telah mendapat karunia
Allah, mereka percaya kepadanya, beriman kepadanya, senasib seperjuangan dengan
menanggung segala macam penderitaan, yang datangnya justru dari masyarakat
mereka sendiri. Mereka didustakan, ditolak dan dimusuhi. Mereka tak merasa
gentar, meskipun jumlah mereka kecil, menghadapi kebencian dan permusuhan
lawan yang begitu besar. Mereka itulah yang telah lebih dulu menyembah Allah di
muka bumi, beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Mereka itu termasuk
sahabat-sahabatnya dan keluarganya. Sepeninggal Nabi, merekalah orang-orang
yang paling berhak memegang pimpinan ini. Tak ada orang yang akan menentang
kecuali orang yang zalim.
"Dan
kalian, Saudara-saudara Ansar! Siapa yang akan membantah jasa kalian dalam
agama serta sambutanmu yang mula-mula, yang begitu besar artinya dalam Islam.
Allah telah memilih kamu sebagai pembela (ansar) agama dan Rasul-Nya. Ke tempat
kalian inilah ia hijrah dan dari kalangan kalian ini pula sebagian besar
istri-istri dan sahabatsahabatnya. Posisi itu hanya ada pada kamu sekalian setelah kami. Karena itu, maka kamilah para amir1 dan Tuan-tuan para wazir. Kami
tak akan meninggalkan Tuan-tuan dalam musyawarah dan tak akan memutuskan
sesuatu tanpa Tuan-tuan."
Setiap pemilihan kata untuk kalimat yang dilontarkan Abu Bakar dapat menggambarkan kebijaksanaan beliau dan niat beliau untuk membawa musyawarah itu ke arah yang lebih jauh dan membangun. Sehingga dari kata-kata itu dapat menyentuh hati orang-orang yang berhadir di saqifah itu dan mencerahkan pikiran mereka. Pidato Abu Bakar mengandung keadilan, baik bagi kaum Ansar maupun Muhajirin dengan tidak merendahkan salah satu golongan pun. Yang mana dengan pidatonya itu tersirat makna bahwasanya tampuk pemimpinan umat Islam sebaiknya diemban oleh pemimpin dari glongan Muhajirin, dengan tetap menyertakan golongan lain, khususnya Ansar sebagai wazir.
Kata-kata yang diungkapkan oleh Abu Bakar berhasil memberi kesan di hati para Ansar. Akan tetapi, tetap ditentang oleh beberapa orang, salah satunya adalah Al-Hubab bin Al-Munzir bin Al-Jamuh yang berdiri diantara kaumnya untuk bersikeras mempertahankan hak dan argumen Ansar agar menjadikan salah satu Amir dari kalangan Ansar, dan satu amir dari Muhajirin.
Untuk itu, Umar bin Khattab yang sedari tadi menahan diri memilih angkat bicara dan menyahut seruan Hubab. "Jangan ada dua kemudi dalam satu perahu! Orang-orang Arab tidak akan mau mengangkat kamu sedang nabinya bukan dari kalangan kamu. Tetapi mereka tidak akan keberatan mengangkat seorang pemimpin selama kenabian itu dari kalangan mereka. Alasan dan kewenangan kami sudah jelas buat mereka yang masih menolak semua itu. Siapakah yang mau membantah kewenangan dan kepemimpinan Muhammad sedang kami adalah kawan dan kerabat dekatnya — kecuali buat orang yang memang cenderung hendak berbuat batil, berbuat dosa dan gemar mencari-cari malapetaka!"
Berulang kali Umar dan Hubab saling beradu argumen hingga situasi semakin memanas. Bahkan, menurut riwayat At-Tabari, Hubab menghunus pedangnya sembari berbicara, akan tetapi Umar menepis tangan Hubab yang menyebabkan pedang itu jatuh.
Di tengah panasnya suasana saat itu, Abu Ubaidah bin Jarrah yang sedari tadi diam memilih angkat bicara. "Saudara-saudara Ansar! Kalian adalah orang yang pertama memberikan bantuan dan dukungan, janganlah sekarang jadi orang yang pertama pula mengadakan perubahan dan perombakan."
Ucapan Abu Ubaidah itu lalu ditanggapi dengan baik oleh seorang pemimpin Khazraj, yaitu Basyir bin Sa'ad ""Kalau kita sudah mendapat tempat pertama dalam perang melawan kaum musyrik dan juga yang mula-mula menyambut agama ini, yang kita tuju hanya rida Allah serta kepatuhan kita kepada Nabi kita yang sudah bekerja keras untuk kita. Maka tidaklah pada tempatnya kita akan menyombongkan diri kepada orang lain, juga bukan tujuan kita ganjaran duniawi ini sebagai balasan buat kita. Tuhanlah yang akan memberikan ganjaran kepada kita untuk itu semua. Ya, Muhammad Sallallahu 'alaihi wasallam dari Kuraisy, maka kabilah inilah yang lebih berhak atas semua itu. Demi Allah aku bersumpah, janganlah sekali-kali kita disaksikan Allah dalam keadaan bersengketa mengenai hal ini. Takutlah kalian kepada Allah, dan janganlah menentang dan bertengkar dengan mereka."
Sekali lagi, Abu Bakar dapat menganalisis keadaan dengan baik ketika mengamati sekelilingnya dan mendapati sebagian besar yang berhadir merasa puas dengan penyampaian dari Basyir bin Sa'ad. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Abu Bakar yang duduk di tengah-tengah antara Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah, menggenggam kedua tangan sahabatnya itu.
"Ini Umar dan ini Abu Ubaidah, berikanlah ikrar Tuan-tuan kepada yang mana saja yang Tuan-tuan sukai." Ucap Abu Bakar.
Mendengar pilihan itu, kegaduhan kembali muncul. Mereka mulai berselisih dan kebingungan akan pilihan yang diberikan Abu Bakar. Apakah memilih Umar bin Khattab yang merupakan salah satu sahabat yang setia mendampingi Rasulullah sekaligus ayah dari salah satu Ummul Mukminin yaitu Hafsah, namun memiliki watak yang keras. Ataukah memilih Abu Ubaidah yang memiliki kedudukan maupun wibawa yang masih berada di bawah Umar dalam hati muslim?
"Abu Bakar, bentangkan tanganmu," Ucap Umar di tengah kegaduhan itu. Abu Bakar pun menuruti permintaan Umar, ia membentangkan tangan dan disambut dengan ikrar yang diucapkan oleh seorang Umar. "Abu Bakar, bukankah Nabi menyuruhmu memimpin Muslimin bersembahyang? Engkaulah penggantinya (khalifahnya). Kami akan mengikrarkan orang yang paling disukai oleh Rasulullah di antara kita semua ini."
Ikrar itu lalu disambung oleh Abu Ubaidah. "Engkaulah di kalangan Muhajirin yang paling mulia. Engkau pula yang menjadi orang kedua dari dua orang di dalam gua, menggantikan Rasulullah dalam shalat, sesuatu yang paling mulia dan utama dalam agama kita. Siapa lagi yang lebih pantas daripada engkau untuk ditampilkan dan memegang pimpinan ini?"
Setelah dua ikrar itu terucap oleh Umar dan Abu Ubaidah, Basyir bin Sa'ad pun ikut memberikan ikrarnya. Hal ini lalu diikuti pula oleh kalangan Aus, disusul Khazraj yang sudah puas dengan keputusan pemilihan Abu Bakar. Orang-orang pun semakin banyak berdatangan, membuat Saqifah Bani Sa'idah hari itu penuh sesak.
Esok harinya, Abu Bakar berhadir di masjid. Di waktu itu pula Umar bin Khattab meminta maaf kepada kaum muslimin atas pernyataannya kemarin mengenai Rasulullah tidak wafat. Kala itu pula kaum muslimin meba'iat Abu Bakar secara umum, setelah ba'iat khusus yang sudah dilakukan di Saqifah Bani Sa'idah.
Usai diba'iat, Abu Bakar berdiri dan mengucapkan puji syukurnya kehadirat Allah SWT. Beliau lalu menyampaikan pidato pertamanya di hadapan umat Islam.
"Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya — insya Allah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil — insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasulullah maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian."
Sempat terjadi pergolakkan di Mekkah ketika berita mengenai Rasulullah sampai di sana. Orang-orang Mekkah sudah bersiap-siap meninggalkan Islam, jikalau Suhail bin Amr tidak tidak menyentuh hati Umat Islam di Mekkah dengan kata-katanya. Yang mana Suhail memberikan ancaman sekaligus harapan kepada para penduduk Mekkah mengenai Islam.
Banyak dari kabilah-kabilah yang memilih murtad lantaran iman mereka belum meresap sampai ke hati. Ada pula yang menganggap zakat hanya sebagai pajak yang dituntut oleh Madinah untuk dibayarkan. Sejak awal memeluk Islam, mereka hanya berniat patuh pada Rasulullah SAW yang mengemban kenabian, sehingga ketika Rasulullah SAW wafat, mereka beranggapan bahwa tidak ada seorang pun di Madinah yang patut untuk mereka taati sepeninggal Rasulullah SAW. Maka tidak ada pula orang yang patut untuk memungut zakat dari mereka.
Wilayah-wilayah yang jauh letaknya dari Madinah mulai goyah keimanannya, dimana banyak dari masyarakat yang terperdaya dan mengikuti para nabi palsu seperti Tulaihah di kalangan Banu Asad, Sajah dari Banu Tamim, Musailimah di Yamamah dan ZutTaj Laqit bin Malik di Oman, di samping sejumlah besar pengikutpengikut Aswad al-Ansi di Yaman.
Berbagai propaganda politik maupun proaganda agama yang sejak zaman Nabi Muhammad SAW dilakukan oleh pihak asing semakin gencar dan mencuat ketika berita wafatnya Rasulullah sampai di berbagai penjuru.
Berbagai masalah inilah yang harus dihadapi Abu Bakar sebagai orang yang dipercayai umat Islam untuk memegang jabatan sebagai Khalifah pertama. Mengenai kemunculan nabi palsu sudah menjadi persoalan sejak Rasulullah SAW masih hidup. Maka dari itu, perintah yang pertama kali dilontarkan oleh seorang Abu Bakar adalah, "Teruskan pengiriman pasukan Usamah."
Usamah adalah pemimpin dari pasukan yang mendapatkan perintah dari Rasulullah untuk menghadapi Rumawi sekaligus mengamankan perbatasan Arab-Rumawi. Pasukan Usamah kala itu sudah mendapatkan izin berangkat dari Rasulullah, namun mereka kembali ke Madinah ketika mendengar berita Rasullullah SAW wafat.
Pengiriman pasukan Usamah sempat menuai banyak pertentangan. Akan tetapi, Abu Bakar yang terkenal lemah lembut memilih menentang dengan tegas berbagai ketidaksetujuan itu. "Demi nyawa Abu Bakar, sekiranya ada serigala akan menerkamku, niscaya akan kuteruskan pengiriman pasukan Usamah ini seperti yang diperintahkan Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam. Sekalipun di kota ini sudah tak ada orang lagi selain aku, pasti kulaksanakan juga."
Daru pernyataan tegas Abu Bakar ini terlihatlah sosoknya yang berkemauan kuat dan dapat menjadi seorang pemimpin yang tegas dibalik sikap lemah lembutnya selama ini.
Perihal Usamah yang masih muda dan menjadi pemimpin pasukan kembali dipersoalkan para Ansar. Mereka meminta kepada Umar untuk menyampaikan pesan mereka kepada Abu Bakar. "Kalau harus juga kita meneruskan perjalanan, sampaikan permintaan kami supaya yang memimpin kita ini orang yang lebih tua usianya dari Usamah."
Pesan itu kemudian disampaikan Umar bin Khattab kepada Abu Bakar. Pesan tersebut mengundang kemarahan Abu Bakar. Abu Bakar bangkit dari duduknya lalu memegang janggut Umar "Celaka kau Umar! Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam yang menempatkan dia, lalu aku yang akan mencabutnya?!"
Begitulah sosok Abu Bakar sebagai Khalifah pertama umat Islam. Beliau menjalankan politik dengan prinsip "Apapun yang dikerjakan oleh Rasulullah akan aku kerjakan.". Sebagai khalil Rasulullah SAW, tentunya Abu Bakar menyaksikan berbagai hal yang telah dikerjakan Rasulullah karena selama ini Abu Bakar selalu membersamai beliau. Oleh karena itu, Abu Bakar memiliki hubungan mental maupun rohani yang sangat erat dengan Rasulullah.
"Teruskan pengiriman pasukan Usamah! Jangan seorang pun dari anggota pasukan Usamah yang tinggal di Madinah, mereka harus pergi bergabung ke markasnya di Jurf." Itulah keputusan final Abu Bakar yang disampaikannya ketika berpidato, bahkan di tengah-tengah orang-orang yang sebelumnya menentang keputusan itu.
"Saudara-saudara, aku seperti kamu sekalian. Aku tidak tahu, adakah kamu akan menugaskan aku melakukan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah. Allah telah memilih Muhammad untuk semesta alam dan dibebaskan dari segala cacat. Tetapi aku hanya seorang pengikut, bukan pembaru. Kalau aku benar, ikutilah aku, dan kalau aku sesat luruskanlah. Rasulullah wafat tiada seorang pun merasa dirugikan dan teraniaya. Padaku juga ada setan yang akan menjerumuskan aku. Kalau yang demikian terjadi, jauhkanlah aku..." Ucap Abu Bakar.
Begitulah Abu Bakar dengan politik yang ia jalankan saat itu. Sebagaimana ungkapan beliau "Aku hanya seorang pengikut, bukan pembaru,". Dari ungkapan ini tergambar bahwasanya beliau mejalankan politik mengikuti dengan apa yang Rasulullah pernah kerjakan. Sudah tentu sebagai khalil Rasulullah, beliau telah mengikuti Nabi Muhammad SAW atas dasar keikhlasan hati yang keluar dari keimanan dan kesadarannya, iman yang membuat beliau begitu tenang bahwa apa yang diikutinya dari Rasulullah tidak salah.
Dalam catatan sejarah, catatan-catatan mengenai Abu Bakar sebagai khalifah mungkin tidak sebanyak Umar bin Khattab. Bahkan, beberapa catatan sejarah di zaman Abu Bakar sangat sulit diruntutkan waktunya. Sebagaimana dalam buku Abu Bakr As-Siddiq, hal ini disebabkan pada masa pemerintahan Abu Bakar umat Islam sangat sibuk meletakkan dasar-dasar pemerintahan serta mempertahankan kedaulatan, baik itu dari luar jazirah Arab, maupun para Nabi Palsu dan orang-orang murtad.
Akan tetapi, di balik itu semua, Abu Bakar merupakan sosok sahabat Rasulullah SAW yang memiliki peran besar dalam Islam, baik sejak awal diangkatnya Nabi Muhammad SAW sebagai seorang nabi dan rasul maupun sepeningal nabi, yaitu ketika beliau memegang tampuk kepemimpinan.
Beliau menyusun dasar-dasar pemerintah Islam sepeninggal Rasulullah SAW serta berusaha mempertahankan kedaulatan Islam di tengah gejolak setelah wafatnya Rasulullah. Abu Bakar mampu menjelma menjadi sosok yang tegas dalam memimpin, di samping sikapnya yang terkenal lemah lembut. Hingga akhir masa kepemimpinannya, para nabi palsu berhasil ditumpas, persoalan orang-orang murtad diselesaikan, serta kedaulatan islam ditegakkan.
Salah khilaf mohon maaf, semoga bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
-RZS
Komentar
Posting Komentar
silahkan berkomentar :)