Artikel- Kondisi dan Perkembangan Majelis Ta'lim di Kalimantan Selatan
Kondisi dan Perkembangan Majelis Ta'lim di
Kalimantan Selatan
Pendidikan agama di Kalimantan Selatan yang berpenduduk 97% beragama Islam, tidak hanya di
sekolah-sekolah formal (berstatus
negeri atau swasta) dan pondok
pesantren (salafiyah, khilafiyah atau kombinasi), tetapi juga ada melalui pengajian di berbagai majelis
taklim. Jumlah majelis taklim yang terdaftar di Kementerian Agama Provinsi
Kalimantan Selatan sebanyak 3.060 buah
dengan rincian 227 buah di Kabupaten Balangan (Paringin), 177 buah di Kota Banjarbaru, 271 buah di Kota
Banjarmasin, 231 buah di Kabupaten Banjar (Martapura), 226 buah di Kabupaten Barito Kuala (Marabahan), 431 buah
di Kabupaten Hulu Sungai Selatan
(Kandangan), 263 buah di Kabupaten
Hulu Sungai Tengah (Barabai),
309 buah di Kabupaten Hulu Sungai Utara (Amuntai), 185 buah di Kabupaten Tabalong (Tanjung), 306 buah di Kabupaten
Tanah Laut, 219 buah di Kabupaten
Tapin (Rantau), 207 buah di Kabupaten Kotabaru,
dan 193 buah di Kabupaten Tanah
Bumbu. 25
Uraian di atas
menunjukkan bahwa pusat Islam Kalimantan berada di Kalimantan Selatan. Oleh karena itu
sebagai pusat Islam, pemikiran-pemikiran yang berkembang di daerah ini pun khususnya
berkaitan dengan persoalan
keagamaan menjadi referensi pula oleh masyarakat Banjar bahkan
masyarakat Islam di Kalimantan lainnya.
1. Kondisi Majelis Ta’lim
Bimbingan penyuluhan
agama Islam melalui majlis taklim sangat strategis karena majlis taklim
berperan sentral menjadi sarana dakwah dan tabligh untuk meningkatkan kualitas
hidup umat Islam, dan majlis taklim mempunyai kedudukan tersendiri
ditengah-tengah masyarakat antara lain:
a. Sebagai wadah untuk
membina dan mengembangkan kehidupan beragama dalam membentuk masyarakat yang
bertaqwa kepada Allah SWT;
b. Taman rekreasi rohaniah;
c. Wadah silaturahmi yang
menghidup suburkan syiar Islam;
d. Media penyampaian
gagasangagasan yang bermanfaat bagi pembangunan umat beragama
Majelis ta’lim jika
kita melihat lapangan, ia bersifat nonformal, namun walaupun demikian fungsi
dari majelis taklim itu sendiri sangatlah dirasa dalam masyarakat. Majelis
taklim juga banyak disorot karena perannya dalam mengembangkan pribadi Islami
pada pesertanya. Hal yang menjadi tujuan majelis taklim, mungkin rumusannya
bermacam-macam. Sebab para pendiri majelis taklim dengan organisasi lingkungan,
dan jamaah yang berbeda, tidak pernah mengalimatkan tujuannya.
Dra. Hj. Tutty Alawiyah
AS, dalam bukunya “Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Taklim”, merumuskan
tujuan dari segi fungsinya, yaitu: Pertama, berfungsi sebagai tempat belajar,
maka tujuan majelis taklim adalah menambah ilmu dan keyakinan agama, yang akan
mendorong pengalaman ajaran agama. Kedua, berfungsi sebagai tempat kontak
social, maka tujuannya silaturahmi. Ketiga, berfungsi mewujudkan minat social maka
tujuannya meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan lingkungan
jamaahnya.
Ada beberapa hal yang membedakan majelis taklim
dengan lembaga pendidikan Islam lainnya, yaitu:
a. Majelis taklim adalah lembaga pendidikan nonformal
Islam.
b. Waktu belajarnya berkala tapi teratur, tidak
setiap hari sebagaimana halnya sekolah atau madrasah.
c. Pengikut atau pesertanya disebut jamaah bukan
santri.
d. Tujuannya yaitu memasyaraktkan ajaran Islam.
Metode penyajian
Majelis Taklim dapat dikategorikan menjadi: metode ceramah, terdiri dari
ceramah umum; (b) metode halaqah; dan (c) metode campuran, yakni melaksanakan
berbagai metode sesuai dengan kebutuhan. Materi yang diajarkan dalam majelis
taklim mencakup: pembacaan Alquran serta tajwidnya, tafsir bersama ulumul
quran, hadis dan mustalahnya, fikih dan usul fikih, akhlak, ditambah lagi
dengan materi-materi yang dibutuhkan para jemaah misalnya masalah
penanggulangan kenakalan anak, masalah Undang-Undang Perkawinan, dan lain-lain.
2. Perkembangan Majelis
Ta’lim
Pada
awal abad 20,
lembaga pendidikan Islam baik berupa
pengajian ataupun dalam bentuk madrasah mulai
mengalami pertumbuhan dan pada paruh kedua abad 20 diikuti
dengan meningkatnya pertumbuhan pesantren
di Kalimantan Selatan.43 Kajian-kajian keagamaan melalui majelis taklim pun tumbuh dengan pesat.
Diperkirakan awal abad ke- 20
kajian-kajian keislaman telah ada dan banyak dilakukan oleh para ulama di berbagai pengajian di Kalimantan
Selatan. Beberapa di antara tempat pengajian
itu misalnya pengajian di daerah
Martapura seperti di kampung Dalam Pagar, Tunggulirang, Keraton, Kampung Melayu dan lainnya.
Pengajian di Nagara dikenal
dengan Pengajian Langgar
Batingkat dan pengajian-pengajian lainnya baik di Langgar atau di rumah Guru (mu‘allim) yang tinggal di kawasan
Amuntai seperti di Sungai Banar, Lokbangkai, Tangga Ulin, Panangkalaan
dan lainnya serta pengajian-pengajian di daerah Bakumpai.
44
Di samping menggunakan kitab-kitab para ulama dalam beberapa
pengajian, Ja‘far ibn ‘Abd al-S}amad seorang ulama asal Nagara Kalimantan Selatan pada tahun 1928
menulis sebuah
risalah yang berjudul
Hi} may> at al-Ikhwan> . Selanjutnya pada paruh
kedua abad 20 literatur-literatur keilmuan yang berkembang di pengajian-pengajian di Kalimantan Selatan relatif
sama dengan literatur-literatur yang
digunakan pada paruh pertama abad 20.
Genealogis keagamaan
dan keilmuan yang dimiliki masyarakat Islam Banjar berasal dari Melayu, Jawa
yang di dalamnya terdapat para
‘Alawiyyin, Aceh, H}aramayn
(al-shafi‘iyah) termasuk juga ulama
‘Alawiyyin , dan
ulama-ulama Banjar sendiri.
Pada perkembangan berikutnya di
samping ada yang masih mempertahankan pemikiran-pemikiran para ulama
sebelumnya, ada pula yang tertarik dengan ide-ide pembaharuan dari Mesir
(Abduhisme) yang menuntut ilmu di Al-Azhar dan sebagian masyarakat Islam Banjar
lainnya ada juga yang tertarik dengan gerakan pemurnian di Haramayn
(Wahabisme).
Literatur-literatur
yang digunakan di beberapa pengajian (tidak termasuk kelompok
reformis-modernis) relatif sama baik pada bidang tauhid, fikih, tasawuf, tafsir
dan hadis atau keilmuan yang lainnya. Dalam beberapa pengajian itu digunakan
berbagai kitab yang merupakan produk intelektual para ulama timur tengah yang
termasuk dalam jaringan al-Shafi‘i dan kitab-kitab yang ditulis ulama
nusantara, seperti al-Falimbani, al-Batani, serta kitab-kitab yang ditulis
ulama Banjar sendiri sejak abad 17 sampai di penghujung
abad 20.53
Begitu juga di pondok pesantren (tidak termasuk
pondok modern) khususnya di bidang
fikih tampaknya kitab-kitab diajarkan hampir tidak berbeda dengan kitab- kitab fikih yang diajarkan di berbagai
pengajian yang disebutkan di atas. Hal ini wajar terjadi
karena ulama-ulama yang mengajar di berbagai pengajian
di antaranya ada yang
membangun pondok pesantren sehingga sistem pembelajaran di pengajian yang diadakan di langgar yang telah berkembang
sejak abad ke- 19 dimasukkan ke dalam kurikulum pondok.
Majlis Ta’lim merupakan lembaga pendidikan
masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat Islam itu
sendiri yang kepentingannya untuk kemaslahatan umat manusia. Pertumbuhan Majlis
Ta’lim dikalangan masyarakat menunjukkan kebutuhan dan hasrat anggota
masyarakat tersebut akan pendidikan agama. Pada kebutuhan dan hasrat masyarakat
yang lebih luas yakni sebagai usaha memecahkan masalah – masalah menuju
kehidupan yang lebih bahagia. Meningkatkan tuntutan jamaah dan peranan
pendidikan yang bersifat nonformal, menimbulkan pula kesadarana dari dan
inisiatif dari para ulama beserta anggota masyarakat untuk memperbaiki ,
meningkatkan dan mengembangkan kwalitas dan kemampuan , sehingga eksistensi dan
peranan serta fungsi majlis ta’lim benar benar berjalan dengan baik.
Eksistensi majelis taklim beserta perangkatnya
sebagai lembaga pendidikan dan dakwah serta lembaga kemasyarakatan telah tumbuh
dan berkembang bersama warga masyarakatnya sejak berabad-abad. Oleh karena itu
secara kultural lembaga ini bisa diterima, tetapi juga ikut serta membentuk dan
memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh
dab berkembang. Figur kyai, ustadz, jama’ah serta seluruh perangkat fisik yang
menandai sebuah majelis taklim senantiasa dikelilingi oleh sebuah kultur yang
bersifat keagamaan.
Majlis Ta’lim sebagai salah satu bentuk
pendidikan Islam yang bersifat Nonformal , tampak memiliki kekhasan tersendiri.
Dari segi nama jelas kurang lazim dikalangan masyarakat Islam Indonesia bahkan
sampai di negeri Arab nama itu tidak dikenal, meskipun akhir – aklhir ini
Majlis Ta’lim Sudah berkembang pesat. Juga merupakan kekhasan dari Majlis
Ta’lim adalah tidak terikat pada faham dan organisasi keagamaan yang sudah
tumbuh dan berkembang. Sehingga menyerupai kumpulan pengajian yang diselenggarakan
atas dasar kebutuhan untuk memahami Islam disela – sela kesibukan bekerja dan
bentuk – bentuk aktivitas lainnya atau sebagai pengisi waktu bagi Ibu – ibu
rumah tangga. Majelis Ta’lim saat ini
bahkan sudah sampai ke kalangan bapak-bapak atau kaum laki-laki juga.
D. Kondisi dan
Perkembangan Majelis Ta'lim di Kalimantan Selatan
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
dijelaskan tentang pendidikan nonformal, pasal 26: satuan pendidikan nonformal
terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan
sejenis. Dengan demikian, pendidikan Islam itu bisa dilaksanakan dalam bentuk
lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan Alquran, bisa dalam
bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompok belajar
dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang banyak tersebar di masyarakat
adalah dalam bentuk majelis ta’lim.
Pembaruan
pendidikan Islam menuju jalur-jalur pendidikan formal di mulai pada awal-awal
abad ke 20 tersebut, di luar itu pendidikan Islam yang bersifat non formal juga
tetap berjalan memperkuat penyelenggaraan pendidikan melalui jalur formal
tersebut. Pada saat itu Muhammadiyah yang ditengarai mempelopori pembaruan
pendidikan Islam menjadi lebih modern juga menyelenggarakan kegiatan tabligh,
yaitu ―pengajaran agama kepada kelompok orang dewasa dalam satu kursus yang
teratur.‖ 97 Sementara itu dalam masa perubahan tersebut ―pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam juga setidaknya melaksanakan kegiatan
pengajian yang terdiri dari pengajian alQur‘an dan pengajian Kitab.
Tantangan modernisasi dan globalisasi yang
telah berimplikasi tidak saja pada sektor sains dan teknologi, ekonomi, tetapi
juga sangat berdampak pada aspek kehidupan sosial, maka lembaga-lembaga
pendidikan Islam non formal seperti majelis ta‘lim sudah menjadi kebutuhan
masyarakat modern yang tetap diperlukan, sehingga lembaga pendidikan Islam non
formal memang tidak dapat dihilangkan begitu saja, meskipun lembaga-lembaga.
Eksistensi lembaga-lembaga pendidikan non
formal semakin eksis ketika pemerintah memberikan perhatian khsusus melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007. Globalisasi dengan segala
tantangannya serta perhatian pemerintah yang tercermin pada Peraturan
Pemerintah tersebut telah menempatkan lembaga pendidikan non formal tetap
dipandang sebagai kebutuhan nasional dalam rangka mewujudkan pendidikan
sepanjang hayat.
a. Pengajian Kitab
Pengajian kitab merupakan suatu pelaksanaan
pembelajaran untuk mempelajari secara mendalam ajaran Islam. Pengajian kitab
biasanya dilaksanakan di pondokpondok pesantren tradisional yang tidak
menggunakan kurikulum pendidikan nasional. Biasanya menggunakan metode sorogan.
Selain di pondok-pondok pesantren, pengajian kitab juga dapat diselenggarakan
di masjid-masjid, musholla-musholla, bahkan di rumahrumah kiyai yang
dikhususkan untuk belajar kitab. Tujuan dari pengajian kitab ini adalah
memahami isi Al-Qur’an dan hadits yang tidak mungkin untuk dipahami tanpa
adanya seorang guru yang mengajar.
Pengajian kitab inilah yang menjadi pembeda dan
menjadi nilai plus dari lembaga pendidikan yang bersifat non formal apabila
dalam proses pelaksanaannya, pengelolaannya, dan sumberdayanya profesional maka
maka akan menghasilkan hasil yang optimal. Lembaga pendidikan Islam non formal
dapat dikatakan sebagai pusat pelaksanaan pengajian kitab dalam rangka
pengembangan ilmu keIslaman yang tidak bisa dipisahkan dari kitab-kitab klasik
karangan ulama-ulama yang memiliki ilmu yang begitu luas.
Salah satu tradisi ulama-ulama klasik adalah
menuangkan ide dan ilmunya dalam bentuk kitab berjilid-jilid yang karyanya
menjadi rujukan sampai saat ini. Seseorang akan diberikan gelar Ulama, Kiyai,
Guru, atau Ustadz apabila ia mampu untuk mengkaji kitabkitab klasik, dan ini
merupakan syarat yang harus dimiliki seorang Ulama. Dalam pelaksanaannya
pengajian kitab ini dapat diselenggarakan melalui dua sistem yaitu sistem
ma’hady dan sistem madrasy. Dimana sistem ma’hadi biasanya pembelajaran kajian
kitab yang diselenggarakan pada sore hari, sedangkan sistem madrasy biasanya
diselenggarakan pada pagi hari. Jadi kalau merujuk pada kedua sistem tersebut
maka pengajian kitab yang dilaksanakan pada lembaga pendidikan Islam non formal
lebih tepatnya menggunakan sistem ma’hady dimana sistem pembelajaran pada
lembaga pendidikan Islam non formal cenderung diselenggarakan pada sore hari di
luar jam pelajaran madrasah yang mengikuti kurikulum pendidikan nasional.
Sistem ma’hady dalam penyelenggaraannya
dilakukan oleh kiyai, yang capaian pembelajarannya yaitu mampu membaca kitab
dan memahami teks-teks klasik, dan metode pembelajarannya menggunakan metode
sorogan atau bahkan sepenuhnya diserahkan kepada kiyai. Berbeda dengan sistem
madrasy maka akan diajar oleh guru mata pelajaran, capaian pembelajaran
mengikuti tujuan pendidikan nasional, dan metode pembelajarannya berbeda-beda
tergantung materi dan capaian yang ingin dicapai.
b. Majelis Taklim
Majelis taklim merupakan sebuah perkumpulan di
tengah kehidupan bermasyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan
keagamaan yang mempunyai struktur kepengurusan yang sah. Majelis taklim menjadi
wadah bagi masyarakat untuk mengumpulkan ide-ide dan menumbuhkan spirit
kebersamaan, melakukan aktivitas keagamaan dan pemberdayaan. Keberadaan majelis
taklim sebagai sebuah komunitas di kota maupun di desa merupakan wujud dari
keberagamaan masyarakat.
Umat Islam memerlukan kesadaran untuk dapat
menumbuhkan spirit belajar akan agama dan keyakinannya. Salah satu tempat yang
tidak bisa dipisahkan dengan majelis taklim adalah masjid. Keduanya merupakan
hal penting yang dimiliki oleh masyarakat muslim, sehingga segala bentuk kegiatan keagamaan,
bimbingan Islam, pemberdayaan perempuan, pemberdayaan gender seharusnya dimulai
dari majelis taklim.
Majelis taklim yang pada mulanya merupakan
wadah untuk menyetarakan gender dan merupakan, pemberdayaan ekonomi,
pemberdayaan dan bahkan politik kini majelis taklim lebih identik dengan perkumpulan
kegiatan keagamaan perempuan. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana aktivitas
majelis taklim mulai dari kota sampai desa. Aktivitas majelis taklim cenderung
pada kegiatan keagamaan. Mulai dari yasinan dan tahlilan, pengajian mingguan
dan bulanan yang diselingi dengan arisan, sampai pada pelaksanaan fardu
kifayah. Dalam hal budaya dan tradisi dalam beragama, majelis taklim aktif
dalam peringatan hari-hari besar Islam mulai dari maulid nabi, isra’ dan
mi’raj, nuzulul qur’an, perayaan tahun baru Islam, dan syiar-syiar keagamaan
lainnya. Ini menunjukkan bahwa majelis taklim juga mengambil peranan penting
dalam mengoptimalkan lembaga pendidikan Islam non formal.
c. Taman Pendidikan Al-Qur’an
Taman pendidikan Al-Qur’an merupakan salah satu
lembaga pendidikan Islam yang masuk dalam kategori lembaga pendidikan Islam non
formal. Jika memotret dari namanya maka taman pendidikan Al-Qur’an, aktivitas
pembelajarannya dilakukan di tengah masyarakat yang identik degan Masjid
sebagai tempat pelaksanaannya. Sama dengan majelis taklim juga identik dengan
Masjid yang dominan sebagai sarana tempat aktivitas. Maka masjid melalui
takmirnya memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan pendidikan
Islam26 kaitannya dengan pembelajaran Al-Qur’an.
Lembaga taman pendidikan Al-Qur’an sebagai
salah satu lembaga pendidikan Islam non formal yang konsen pada pembelajaran
Al-Qur’an baik membaca maupun menulis, cara beribadah yang diikuti oleh
anak-anak usia sekolah dasar serta konsen pada hafalan Al-Qur’an. 27 Penting
bagi anak-anak TPA untuk menghafal Al-Qur’an, karena anak-anak tersebut masih
kuat ingatannya dan sangat cepat untuk menghafal.
Salah satu tujuan pembelajaran yang dilakukan
di lembaga pendidikan Islam non formal adalah untuk keberlanjutan dan sebagai
pendukung dari pelaksanaan pendidikan Islam di sekolah baik di tingkat dasar
dan menengah sementara untuk kalangan dewasa dan orang tua tujuannya adalah
untuk aktualisasi diri dan mengikat persatuan dan kesatuan dalam bingkai
keagamaan untuk menebar manfaat sebanyak-banyaknya.
Selain daripada itu untuk memberikan
keteladanan kepada generasi selanjutnya akan pentingnya ilmu pengetahuan dan
pentingnya menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Tujuan lain
sebagaimana dalam bukunya Ishak bahwa tujuan pembelajaran di lembaga pendidikan
Islam non formal adalah untuk perluasan pendidikan dan pendidikan nilainilai
kehidupan seperti pengajian, tazkiyatun nafs, kesenian, budaya islami, sehingga
dapat menerapkan nilai-nilai keagamaan, etika, serta keindahan.
Adapun ciri-ciri lembaga pendidikan Islam non
formal yaitu mendapatkan keterampilan, pembelajarannya berorientasi pada
peserta didik, waktu yang dibutuhkan singkat, kurikulum yang fleksibel, metode
yang digunakan bermacam-macam dan berorientasi pada pembelajaran mandiri,
pendidik dan peserta didik tidak kaku, dan sumber belajarnya bersifat lokal.
Komentar
Posting Komentar
silahkan berkomentar :)