Sejarah-KEADAAN BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM
A. Keadaan geografis jazirah
Arab
Semenanjung
Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat daya Asia. Semenanjung
ini dinamakan jazirah karena
tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di sebelah timur berbatasan dengan
teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia
dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan dengan laut merah. Hanya di sebelah
utara, jazirah ini
berbatasan dengan daratan atau padang pasir Irak dan Syiria.
Secara
geografis, daratan jazirah Arab didominasi padang pasir yang
luas, serta memiliki iklim yang panas dan kering. Jazirah Arab
dibedakan menjadi dua, yakni daerah pedalaman dan pesisir. Daerah pedalaman
jarang sekali mendapatkan hujan, namun sesekali hujan turun dengan lebatnya.
Kesempatan demikian biasa dimanfaatkan penduduk nomadik dengan mencari genangan
air dan padang rumput demi keberlangsungan hidup mereka. Sedangkan daerah
pesisir, hujan turun dengan teratur, sehingga para penduduk daerah tersebut
relatif padat dan sudah bertempat tinggal tetap. Oleh karena itu, di daerah
pesisir ini, jauh sebelum Islam lahir, sudah berkembang kota-kota dan
kerajaan-kerajaan penting, seperti kerajaan Himyar, Saba’, Hirah dan Ghassan.
B.
Keadaan sosial dan budaya bangsa Arab sebelum Islam
Masyarakat
Arab terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu penduduk kota (Hadhary)
dan penduduk gurun (Badui). Penduduk kota bertempat tinggal tetap.
Mereka telah mengenal tata cara mengelola tanah pertanian dan telah mengenal
tata cara perdagangan. Bahkan hubungan perdagangan mereka telah sampai ke luar
negeri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah memiliki peradaban cukup tinggi.
Sementara
masyarakat Badui hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya
guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka[1]. Di antara kebiasaan mereka adalah
mengendarai unta, mengembala domba dan keledai, berburu serta menyerang musuh.
Kebiasaan ini menurut adat mereka adalah pekerjaan yang lebih pantas dilakukan
oleh laki-laki. Oleh karena itu, mereka belum mengenal pertanian dan
perdagangan. Hal
penting yang mereka lakukan adalah membela sesama anggota suku. Itulah yang
dapat kita lihat dari sikap fanatisme dan patriotisme yang ada di dalam
kehidupan masyarakat Badui.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis Arab sangat besar pengaruhnya terhadap
kejiwaan masyarakatnya. Arab sebagai wilayah tandus dan gersang telah
menyelamatkan masyarakatnya dari serangan musuh-musuh luar. Pada sisi lainnya,
kegersangan ini mendorong mereka menjadi pengembara-pengembara dan pedagang daerah
lain. Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang pasir juga menimbulkan
semangat kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan mereka
terhadap kebebasan ini menyebabkan mereka tidak pernah dijajah bangsa lain.
Kondisi
kehidupan Arab menjelang kelahiran Islam secara umum dikenal dengan sebutan
zaman jahiliyah. Hal ini dikarenakan kondisi sosial politik dan keagamaan
masyarakat Arab saat itu. Hal itu disebabkan karena dalam waktu yang lama,
masyarakat Arab tidak memiliki nabi, kitab suci, ideologi agama dan tokoh besar
yang membimbing mereka. Mereka tidak mempunyai sistem pemerintahan yang ideal
dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Pada saat itu, tingkat keberagamaan
mereka tidak berbeda jauh dengan masyarakat primitif.
Pada masa
itu, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah umat
manusia. Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan
bahkan lebih hina lagi. Karena para wanita sama sekali tidak mendapatkan
penghormatan sosial dan tidak memiliki apapun. Kaum laki-laki dapat saja
mengawini wanita sesuka hatinya dan menceraikan mereka semaunya. Bahkan ada
suku yang memiliki tradisi yang sangat buruk, yaitu suka mengubur anak
perempuan mereka hidup-hidup. Mereka merasa terhina memiliki anak-anak
perempuan. Muka mereka akan memerah bila mendengar isteri mereka melahirkan
anak perempuan. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa malu dan
khawatir anak perempuannya akan membawa kemiskinan dan kesengsaraan dan
kehinaan.
Selain
itu, sistem perbudakan juga merajalela. Budak diperlakukan majikannya secara
tidak manusiawi. Mereka tidak mendapatkan kebebasan untuk hidup layaknya
manusia merdeka. Bahkan para majikannya tidak jarang menyiksa dan memperlakukan
para budak seperti binatang dan barang dagangan, dijual atau dibunu
Secara
singkat dapat disimpulkan keaadaan sosial dan kebudayaan bangsa Arab sebelum
islam diantaranya:
a.
Orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam adalah
orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrikin), yaitu mereka menyembah
patung-patung dan menganggap patung-patung itu suci.
b.
Kebiasaan mereka ialah membunuh anak laki-laki mereka
karena takut kemiskinan dan kelaparan.
c.
Mereka menguburkan anak-anak perempuan mereka
hidup-hidup karena takut malu dan celaan.
d.
Mereka orang-orang yang suka berselisihan, yang suka
bertengkar, lantaran sebab-sebab kecil, sebab segolongan dari mereka memerangi
akan segolongannya.
C. Keadaan ekonomi Bangsa Arab
sebelum Islam
Perdagangan
merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab pra Islam. Mereka
berdagang bukan saja dengan orang Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan
perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan antara lain karena pertanian
yang telah maju.
Faktor-faktor
yang mendorong kemajuan perdagangan Arab sebelum Islam sebagaimana dikemukakan
Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.
2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang
paling bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian
perdagangan lokal maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan
penguasa Syam, Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis
di jazirah Arab.
5. Mundurnya perekonomian dua imperium besar,
Byzantium dan Sasaniah, karena keduanya terlibat peperangan terus
menerus.
6. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara
politis ke tangan orang Ethiopia pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan
Persia pada tahun 257 M.
7. Dibangunnya pasar lokal dan pasa
musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat
al-Jandal, Yamamah dan pasar Wahat.
8. Terblokadenya lalu lintas perdagangan
Byzantium di utara Hijaz dan laut merah[3].
Di lain
sisi, Mekkah di mana terdapat ka’bah yang pada waktu itu sebagai pusat kegiatan
Agama, telah menjadi jalur perdagangan internasional. Hal ini diuntungkan oleh
posisinya yang sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang
menghubungkan jalur perdagangan dan jaringan bisnis dari Yaman ke Syiria, dari
Abysinia ke Irak. Pada mulanya Mekkah didirikan sebagai pusat perdagangan lokal
di samping juga pusat kegiatan agama. Karena Mekkah merupakan tempat suci, maka
para pengunjung merasa terjamin keamanan jiwanya dan mereka harus menghentikan
segala permusuhan selama masih berada di daerah tersebut.
Pasar
yang paling terkenal di jazirah arab adalah pasar ukazh. Pasar ini hanya sekali
dalam setahun yaitu pada tanggal 1-20 dzulqa’dah. Tingkat perdagangannya
mencapai seluruh jazirah arab, bisa dibilang sebagai pasar internasional saat
itu. Nama ukazh berasal dari kata al ta’akuzh yang berarti “menarik perhatian
orang”. Pasar ukazh berada diantara makkah dan thaif namun lebih dekat dengan
thaif. Dipasar ini banyak orang saling membanggakan diri dengan syair arab yang
mereka buat. Karena terdapat lomba syair diantara pujangga arab, syair terbaik
akan mendapatkan kemuliaan dengan cara syair tersebut akan dipamerkan diatas
dinding ka’bah. Sehingga saat musim haji tiba, orang dari penjuru jazirah arab
akan mengenali penulis syair tersebut.
D. Keadaan politik bangsa Arab
sebelum Islam
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar daerah Arab adalah
daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Ditambah
lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah Jazirah Arab,
bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan
faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya
tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa
loyal ke kabilahnya saja. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah
kekuatan politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal
konsep negara.
Sementara
menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur masyarakat Arab pra
Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis[4]. Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak
memerintah dan menjatuhkan hukuman pada anggotanya. Namun dalam bidang
perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal ini tercermin dalam
perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara pemimpin suku di Mekkah
dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah, Hirah, Suriah, dab Ethiopia.
Model
organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah).
Kepala sukunya disebut Shaikh/Syeikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama anggota. Syeikh dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari
anggota yang masih memiliki hubungan famili. Shaikh tidak
berwenang memaksa, serta tidak dapat membebankan tugas-tugas atau mengenakan
hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban hanya melekat pada warga suku secara
individual, serta tidak mengikat pada warga suku lain.
E. Keadaan
agama bangsa Arab sebelum Islam
Sebelum
kedatangan Islam di arab terdapat berbagai agama diantara ada yang beragama
Yahudi, kristen dimana mayoritas penganut agama Yahudi tersebut pandai bercocok
tanam dan membuat alat-alat dari besi seperti perhiasan dan persenjataan[5].
Penduduk
Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme, Yahudi, dan Kristen
merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah agama mayoritas
mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di sekitar Ka’bah.
Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala-berhala itu: sanam, wathan, nusub,
dan hubal. Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga
dibuat dari batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal
berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua
penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah
melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa paganisme
sudah berumur ribuan tahun.
Sejak berabad-abad
penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran
permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan
Mesir. Para bangsa Arab Jahiliyah mulai melupakan ajaran yang pernah diajarkan
mereka. Hal ini diperparah dengan kemunculan ajaran yang meragukan, seperti
menyembah berhala yang dibawa oleh Pemimpin Bani Khuza'ah, Amru bin Luhai.
Sebetulnya
Amru tumbuh sebagai sosok yang dikenal gemar berbuat kebajikan dan hormat
terhadap urusan agama. Bahkan, bangsa Arab Jahiliyah menganggapnya sebagai
seorang ulama dan wali besar yang disegani. Hingga Amru melakukan perjalanan ke Syam dan melihat
penduduk di sana menyembah berhala. Amru berkeyakinan hal yang dilakukan mereka
adalah kebenaran sebab menurutnya, Syam adalah tempat para rasul dan kitab.
Sepulangnya dari Syam, Amru membawa salah satu berhala, Hubal, dan meletakkannya di dalam Kakbah. Di sisi lain, menurut Ibnu Kalbi, salah satu dorongan mereka dalam menyembah berhala dan batu yaitu, terdapat tradisi di mana siapa pun yang meninggalkan kota Makkah diharuskan membawa batu yang diambil dari batu-batu yang ada di tanah Haram Kakbah. Kemudian di setiap tempat persinggahan, mereka meletakan batu itu dan bertawaf mengelilinginya seperti mengelilingi Kakbah. Proses ini berlangsung terus menerus dan akhirnya mereka menyembah apa yang mereka sukai dan yakini. Setelah Hubal, berhala dari batu akik berwarna merah berbentuk patung manusia, mereka pun membuat berhala besar lain yang dinamakan Lata dan 'Uzza. Kemusyrikan pun semakin merebak, berhala yang lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Hijaz.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Din,
Burhan, Jazirat- Arab al-Islam, Beirut: t. p. 1989
Asy
Syarkowi, Abdurrahman, Muhammad Sang Pembebas, Yogyakarta:
Mitra Pustaka 2003
R A A, Nicholson, A
Literary History of The Arabs, Cambridge : Cambridge University Perss
1997
Sa’id
Romadhan al-Buthy, Muhammad, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani
Press cet 11 2006
Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2008
Komentar
Posting Komentar
silahkan berkomentar :)