Filsafat- KONSTRUKSI KEILMUAN DALAM ISLAM (EPISTEMOLOGI ISLAM): BAYANI, IRFANI, DAN BURHANI

 


 

A.     Definisi dan Karakteristik Epistemologi Islam

1.   Pengertian Epistemologi Islam

Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, dan logos sering digunakan untuk menunjukkan pengetahuan yang sistematis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan yang sistematis tentang pengetahuan. Istilah lain yang sesuai dengan epistemologi dalam berbagai literatur filsafat kadang disebut logika material, standar, kritik intelektual, dan istilah filsafat pengetahuan sering digunakan di Indonesia.[1]

 Conny Semiawan berpendapat bahwa epistemologi adalah “cabang filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori pengetahuan, epistemologi berfokus pada makna pengetahuan yang berkaitan dengan konsep pengetahuan, sumber dan norma, jenis pengetahuan, dan sebagainya”. Sedangkan menurut Hardono Hadi Epistemologi adalah “bidang filsafat yang berupaya mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki”.[2]

2.   Pengetian Epistemologi Islam

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 tampil ke depan (maju) karena dua hal: pertama, karena pengaruh sinar Al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena pergumulannya dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta terjadinya alkuturasi budaya antar mereka. [3]Mengenai pergumulan dan akulturasi budaya tersebut memang ditunjang oleh ajaran Islam itu sendiri yang inklusif, terbuka. Maka epistemologi Islam dengan sendirinya menelaah: bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, bagaimana kebenaran yang diperoleh manusia menurut pandangan Islam.

Jika epistemologi dalam tradisi pemikiran Barat bermuara dari dua pangkal pandangannya, yaitu rasionalisme dan empirisme yang merupakan pilar utama metode keilmuan. Namun Islam, dalam memperoleh ilmu pengetahuan tidak berkubang hanya pada rasionalisme dan empirisme, tetapi juga mengakui intuisi dan wahyu. Intuisi sebagai fakultas kebenaran langsung dari Tuhan dalam bentuk ilham, kasyaf yang tanpa deduksi, spekulasi dan observasi. Pengetahuan seperti ini dalam mistisisme Islam disebut dengan Ilm al-Dharury atau ‘Ilm al-Laduny yang kedudukannya sedikit di bawah wahyu.[4]

Epistemologis Islam mengambil titik tolak Islam sebagai subjek untuk membicarakan filsafat pengetahuan, maka disatu pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Dilain pihak, filsafat pengetahuan Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Disini manusia berfungsi sebagai subjek yang mencari kebenaran. Pendapat tersebut berdasarkan alasan, bahwa manusia sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan, sekaligus memberi interprestasinya.[5]

3.   Karakteristik Epistemologi Islam

Ilmu dari sudut pandang Islam tidak sepenuhnya bertentangan dengan sains Barat. Hal ini menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan antara keduanya. Misalnya, ilmu diakui oleh Islam sebagai salah satu sarana komunikasi untuk memperoleh pengetahuan, dan juga oleh Barat. Ada alasan menyertai, namun keduanya tidak dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi manusia, sehingga keduanya tidak mutlak.

Adapun Ciri-ciri atau karakteristik epistemologis yang ada di dunia Islam adalah:

a.   Bersandar Pada Kekuatan Spiritual

Kebenaran tidak terbatas pada empirisme, seperti yang diasumsikan oleh positivisme, yang mengandalkan kekuatan mental. Manusia adalah makhluk yang tidak hanya emosional, tetapi juga memiliki akal, hati nurani, dan keyakinan. Kekuatan spiritual yang besar tersimpan dalam iman dan hati nurani. Selain wahyu, kekuatan spiritual seperti intuisi juga telah ditekan oleh keilmuan Barat. Di kalangan pemikir Islam, intuisi menempati posisi terbaik sebagai pendekatan perolehan ilmu, dan intuisi diperoleh dengan berdoa kepada Allah. Intuisi digunakan untuk menyempurnakan proses berpikir di awal suatu masalah ilmiah. Artinya, para pemikir Islam terus menggunakan akal dan nalarnya untuk berpikir tentang masalah pengetahuan, sehingga mereka memiliki pendekatan intuisi.[6]

b.   Hubungan yang Harmonis antara Akal dan Wahyu

Isfahani menjelaskan hubungan timbal balik antara wahyu dan akal dalam proses memperoleh pengetahuan dalam bahasa organik yang solid. Menurut Isfahani, akal tidak boleh diturunkan tanpa wahyu, dan dalam pengertian itu wahyu tidak dapat dicapai dengan jelas. Hal ini menunjukkan pada bahwa keduanya saling melengkapi. Keharmonisan akal dan wahyu menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan Islam memiliki nilai-nilai transenden, nilai tertinggi.

c.   Interdependensi Akal dengan Intuisi

Dalam Islam, sains dibangun di atas kerja sama akal dan intuisi. Intelek memiliki penalaran terbatas, yang kemudian dilengkapi dengan intuisi yang diberikan atau dibantunya. Jika intuisi kita tidak sistematis, kita memerlukan alasan untuk mensistematisasikan pengetahuan yang diberikan kepada kita. Ini menunjukkan bahwa akal membutuhkan intuisi dan bahwa intuisi membutuhkan akal. Menemukan pengetahuan memungkinkan untuk menggunakan akal dan intuisi, tetapi setiap pendekatan epistemologi memiliki kekuatan dan kelemahannya, sehingga kombinasi keduanya membuat pengetahuan yang diperoleh lebih sempurna. Kombinasi akal dan intuisi dapat dicapai dengan pengetahuan ganda: praktis dan spiritual, eksternal dan spiritual, empiris dan metafisik, atau fisik dan metafisik, sekuler dan seterusnya.[7]

d.   Memiliki Orientasi Teosentris

Teosentris berasal dari bahasa Yunani Theos, tetapi dari sudut pandang teoretis, Tuhan berarti gagasan bahwa semua proses kehidupan di planet ini kembali kepada Tuhan. Ilmu dalam Islam didasarkan pada wahyu serta fakta dan alasan empiris. Ilmu itu datangnya dari Allah, dan ilmu itu sangat menarik bagi Allah.16 Ilmu Islam bersifat universal dan terintegrasi dengan Tuhan atau nilai-nilai-Nya. Oleh karena itu, agama dan kepercayaan dalam ajaran Islam termasuk menggambarkan tiga unsur yang ada dalam diri manusia: kesadaran, pikiran, ucapan, dan perilaku yang saling melengkapi.[8] Dalam Islam, sains mengandung informasi dan pembahasan yang lebih detail daripada sains. Karena ilmu mengumpulkan informasi dari Allah melalui wahyu di luar proses biasa. Dengan kata lain, ada sesuatu dalam sains Islam yang tidak dimiliki sains.

e.   Terikat Nilai

Ilmu Islam adalah nilai batas, dipengaruhi oleh dimensi spiritual, wahyu, intuisi dan berpusat pada ketuhanan. Hal ini sangat berbeda dengan sains Barat karena menekankan bahwa sains bersifat netral, tidak berharga, dan tidak terikat pada nilai tertentu. Pernyataan ilmiah yang netral (tidak berharga) dan objektif akan menyebabkan manusia modern memandang manusia dan lingkungan sebagai objek belaka.[9]

 

B.      Aliran-Aliran Epistemologi Islam

1.   Epistemologi Bayani

a.   Pengertian Bayani

Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fiqh dan ushul fiqh, kalam dan balaghah). Dan pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Ini merupakan metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nas), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali melalui inferensi istidlal). Secara langsung artinya mamahami tes sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa babas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. [10]

Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memiliki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan antara makna dan lafaz. Dan dikatakan pula bahwa peran akal dalam epistemologi bayani adalah sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu, justifikatif dan pengukuh kebenaran (otoritas teks).[11]

b.   Perkembangan Bayani

Pada masa Syafi’I (767-820), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mencakup masalah-masalah ushul atau pokok dan yang berkembang hingga ke furu atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’I membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan yaitu:

1)   Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah di jelaskan Tuhan dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.

2)   Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.

3)   Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.

4)   Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.

5)   Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atau sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah.[12]

Epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha' (pakar fiqih), mutakallimun (theolog) dan usulliyun (pakar usul al-fiqhi). Di mana mereka menggunakan bayani untuk:[13]

1)  Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafaz yang zahir pula.

2)  Istinbat (pengkajian) hukum-hukum dari al-nushush al-diniyah (al-Qur'an dan Hadis).

Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas atas kata-kata sulit dalam Al-Qur’an, tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk memenangkan perdebatan.

c.   Metode Bayani

Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fiqh, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan suatu masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya adalam teks, karena adanya kesamaan illah.[14] 

Karakter aktifitas nalar yang mendasari proses produksi pengetahuan dalam epistemologi bayani paling tidak – didasarkan pada satu nalar (mekanisme kognitif) yang pilar-pilarnya adalah menghubungkan furu‟ dengan ushul karena adanya persesuaian antara keduanya: yang dalam istilah nuhat dan fuqaha’ disebut qiyas, atau dalam istilah teolog istidlal bi al-syahid ala al-ghaib (penalaran analogis antara dunia inderawi dengan dunia transenden), dan tasybih dalam istilah para ahli balaghah.[15]

Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurmah. Arak dari perasan kurma disebut far (cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannyaillah karena memabukkan. Hasilnya arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.

2.    Epistemologi Irfani

a.     Pengertian Irfani

Irfani berasal dari Bahasa Arab yang tersusun dari huruf ع ر-ف, pada mulanya berarti sesuatu yang berkesinambungan atau berkesinambungan satu sama lain, artinya ketenangan atau keheningan. Kata "arafa" mempunyai dua arti: "mengetahui" atau "mengetahui", menurut etimologinya, dan bentuk mashdarnya adalah irfani. Kata ini mempunyai arti yang sama dengan kata makrifat yang berarti ilmu. Al-irfan secara harfiah berarti “mengetahui sesuatu melalui pemahaman dan kajian yang mendalam.” Dengan kata lain, setelah I, ilmu diturunkan kepada hamba Allah melalui kesimpulan tentang sifatnya yang disebut irfani.[16] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendekatan epistemologis Irfani didasarkan pada cara berpikir metodologis yang bersumber dari pengalaman langsung dan kontak langsung dengan realitas spiritual keagamaan.

Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Pengetahuan Irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis.

b.     Perkembangan Irfani

Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam lima fase:

1)    Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah. Apa yang disebut baru ada dalam bentuk perilaku zuhud.

2)    Fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini di tangan Robiah Al-Adawiyah (801 M) zuhud dilakukan atas dasar cinta pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.

3)    Fase pertmbuhan, terjadi pada abad 3-4 hijriah, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak).

4)    Fase puncak, terjadi pada abad ke lima hijriah. Pada periode ini irfan mencapai masa gemilang. Irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.

5)    Fase spesifikasi, terjadi pada abad ke enam dan tujuh hijriah berkat pengaruh Al-Ghazali yang besar, irfan menjadi semakin di kenal dan berkembang dalam masyarakat Islami. Pada fase ini, secara epistemologi irfan telah terpecah menjadi dua aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoritis.

6)    Fase kemunduran terjadi pada abad ke- 8. Sejak abad itu irfan tidak mengalami kemajuan bahkan mengalami kemunduran[17]

c.     Metode Irfani

Pengetahuan Irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.

Tahapan pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan Spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak (1) Taubat, (2) Wara‟, menjauhkan diri dari sesuatu yang subhat, (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. (4) Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT, (5) Sabar, menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela. (6) Tawakal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya. (7) Ridla, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.[18]

Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaiknya (ittihad)  yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut “ilmu huduri” atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).[19]

Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tataan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[20]

Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; zauqi (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu huduri yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.[21]

Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton (1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.

3.   Epistemologi Burhani

a.   Pengertian Burhani

Dalam Khasanah kosa kata Arab, Menurut Ibn Mansyur kata al Burhan secara epistimologis berarti argumen yang jelas dan tegas. Bagi al-Jabiri Metode burhani bertumpuh sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik melalui panca indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang semesta, bahkan juga sampai menghasilkan kebenaran yang bersifat pospulatif.[22]

Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Epistemologi Burhani menekankan pada kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam ruang, sensasi, eksperimen, dan konseptualisasi manusia. Dalam epistemologi spiritual, akal berfungsi sebagai alat kritis dan analitis. Epistemologi Burhan dengan demikian merupakan epistemologi yang menyatakan bahwa akal adalah sumber pengetahuan.[23]

b.   Perkembangan Burhani

Menurut ahli sejarah filsafat, Heraclitus adalah orang pertama yang mengemukakan pemikiran tentang logos, atau yang disebut akal universal (al-‘aql al-kauni). Konsep akal universal dikembangkan oleh filosofis yunani, Aristoteles. Sebelum aristoteles, metode-metode logika dan filsafat diuraikan secara terpisah, tidak teratur serta tidak ada klarifikasi yang jelas. Jadi aristoteles lah yang menyusun metode logika tersebut secara sistematis beserta uraiannya. Logika dijadikan sebagai langkah awal dan pembuka ilmu-ilmu filsafat.

Dalam sistem filsafat Aristoteles lebih menekankan aspek rsionalitas akal daripada aspek spiritualitas moral. Dalam pandangan aristoteles, alam semesta bisa dipahami dengan akal. Demikian itu, karena sistem yang mendasari alam dan orang yang memahami tidak lain berarti memahami akal. Dengan kata lain, dalam konsep yunani aristoteles, akal berarti ‘memahami sebab’. Di atas fondasi akal universal (logos) yang mencari hubungan sebab akibat atau hukum universal yang rasionalistik dengan system pengetahuan yunani yang dibangun. Kemudian, pemikiran yunani yang telah terdokumentasikan, ditransfer ke dunia arab melalui terjemahan diera Al-Ma’mun.[24]

Terdapat perbedaan konsep nalar Yunani yang berkaitan dengan upaya memahami sebab, yaitu pengetahuan. Dalam pemikiran arab, pengetahuan bukan usaha untuk menyingkapkan hubungan antara fenomena alam dengan yang lainnya, akan tetapi untuk membedakan objek pengetahuan (baik indrawi ataupun sosial) antara yang baik dan yang buruk. Jadi, ketika sistem pengetahuan burhani yunani yang bersentuhan dengan pemikiran arab, tidak lagi sepenuhnya bersifat logis-filosofis. Akan tetapi, melalui pemikiran atau nalar arab dengan persepektif normatifnya, para filosofis muslim mengakses wacana filsafat yunani yang bersaifat objektif.

Menurut Marshall G. Hodgson dalam telaah historis-filosofisnya mengungkapkan hal yang sama bahwa sebagai seorang filosof muslim harus mempunyai dorongan yang kuat terhadap pencarian diskursus rasional yunani, tetapi konstelasi intelektual masyarakat yang bercorak islam tetap memberikan pengaruh. Para filosof muslim terdorong untuk menyajikan bahan-bahan filosofis rasional dalam sintesa-sintesa yang baru dan independen yang bercorak islam.[25]

Selain itu para filosof muslim membagi akal menjadi dua macam yaitu akal praktis, dan akal teoritis. Akal praktis ini berkaitan dengan tindakan (etika), akan tetapi lebih difokuskan pada akal teoritis. Disini akal dapat menyempurnakan penerapan pancaindra dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan karena akal dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh indra-indra (baik lahir ataupun batin) yaitu kemampuan untuk bertanya secara kritis.[26] Misalnya akal dapat bertanya mengenai kapan suatu peristiwa itu terjadi, dan apa yang menyebabkan peristiwa itu, oleh siapa, dan bagaimana. Dengan demikian, tidak diragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber pengetahuan.

c.   Metode Burhani

Demi mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai. Namun karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber kepada rasio objek objek eksternal, maka ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme yaitu:

1)   Tahap pengertian (ma`qulat). Tahap ini adalah tahap proses abstraksi atas objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk pada sepuluh kategori yang diberikan Aristoteles.

2)   Tahap pernyataan (ibarat). Adalah tahap proses pembentukan kalimat atau proposisi atas pengertian pengertian yang ada. Propossisi ini harus memuat subjek (maudu`) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi keduanya.

3)   Tahap penalaran (tahlilat). Pada tahap ini proses pengambilan keputusan berdasakan hubungan di antara premis-premis yang ada, disinilah terjadi silogisme. Menurut Al-Jabiri, dalam penarikan kesimpulan dengan silogisme harus memenuhi beberapa syarat: (1) mengetahuai latar belakang dari penyusunan premis; (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar.[27]

Sebuah silogisme baru dikatakan domonstratif apabila premis-premisnya didasarkan pada kebenaran yang sudah teruji kebenarannya bukan didasarkan pada opini, karena hanya pada premis-premis yang benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar. Contohnya klasik silogisme demonstratif: 

“semua manusia akan mati (fana). Socrates adalah manusia, maka Socrates akan mati.”

Dari pernyataan di atas “semua manusia akan mati” disebut premis mayor, sedangkan “Socrates adalah manusia, maka akan mati” disebut premis minor. Kata “manusia” yang muncul dalam kedua premis tersebut adalah middle trem. Jika premis mayor dan mayor benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan “Socrates akan mati” adalah benar.

 

C.     Perbedaan Metodologi Pemikiran Bayani, Irfani, dan Burhani

 Ketiga epistemologi, bayani, irfani dan burhani adalah digunakan metode dalam yang mencapai pengetahuan (kebenaran) melalui cara dan metodenya sendiri-sendiri. Berikut konsep Hubungan dan Perbandingan antara Pendekatan Bayani, Irfani, dan Burhani dalam Filsafat Pendidikan Islam:

Pengetahuan Burhani didasarkan pada akal, pengetahuan irfani berdasarkan intuisi, dan pengetahuan Bayani berdasarkan teks suci. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Karena pendekatan Bayani hanya berbasis teks, pendekatan ini cenderung berfokus pada informasi insidentil dibandingkan informasi penting, sehingga kurang mampu melacak secara dinamis perkembangan sosial dan sejarah yang cepat berubah dalam masyarakat.[28]

Pada prinsipnya, Islam telah memiliki epistemologi yang komprehensif sebagai kunci untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Hanya saja dari tiga kecenderungan epistemologis yang ada (bayani, irfani dan burhani), dalam perkembangannya lebih didominasi oleh corak berpikir bayani yang sangat tekstual dan corak berpikir irfani (kasyf) yang sangat sufistik. Kedua kecenderungan ini kurang begitu memperhatikan pada penggunaan rasio (burhani) secara optimal.[29]

Dalam epistemologi bayani sebenarnya ada penggunaan rasio (akal), tapi relatif sedikit dan sangat tergantung pada teks yang ada. Penggunaan yang terlalu dominan atas epistemologi ini, telah menimbulkan stagnasi dalam kehidupan beragama, karena ketidakmampuannya merespon perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan epistemologi bayani selalu menempatkan akal menjadi sumber sekunder, sehingga peran akal menjadi terpasung di bawah bayang-bayang teks, dan tidak menempatkannya secara sejajar, saling mengisi dan melengkapi dengan teks. Pendekatannya yang supra-rasional, menafikan kritik atas nalar, serta pijakannya pada logika paradoksal yang segalanya bisa diciptakan tanpa harus berkaitan dengan sebab-sebab yang mendahuluinya, mengakibatkan epistemologi ini kehilangan dimensi kritis dan terjebak pada nuansa magis yang berandil besar pada kemunduran pola pikir manusia.

Walaupun demikian, secara mendasar penjelasan di atas, tampak bahwa tidak ada yang lebih unggul atau lebih utama antara satu sama lainnya, dan masing-masing metode yang digunakan dari prosesnya sehingga menghasilkan pengetahuan (kebenaran) adalah benar dalam perspektif mereka masing-masing. Oleh karena itu, dalam konteks diskusi tentang akal dan wahyu, suatu isu terpenting dalam filsafat Islam, perkembangan tiga epistemologi ini, bisa menjelaskan bagaimana masing-masing aliran memberikan porsi akal dalam memahami wahyu.[30]

Adapun hubungan ketiga epistemologi tersebut (bayani, irfani dan burhani) sangat bergantung pada bagaimana seseorang melihat atau memposisikannya, apakah dalam bentuk paralel, linier atau sirkular.Dalam bentuk paralel, masing-masing corak epistemologi akan berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya sentuhan satu sama lain, pandangan perlu dihindari klaim kebenaran yang merasa paling benar dan menyalahkan corak yang lainnya. Sedangkan dalam bentuk linier, pada ujung-ujungnya akan mengalami kebuntuan keilmuan.

Pola hubungan linier telah berasumsi bahwa salah satu dari ketiga corak epistimologi tersebuat akan menjadi primadona. Pada bentuk ini juga renrtan memunculkan kebenaran menganggap (truth claim) klaim yang satu-satunya epistimologi yang paling ideal dan final.

Bentuk Sirkular adalah model memanfaatkan gerak putar antar ketiga epistimologi itu. Dengan begitu, ketidaktepatan, kekeliruan, kekakuan, anomali-anomali dari masing epistemologi pemikiran Islam dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah mendapat masukan atau kritikan dari luar dirinya. Karena pada bentuk ini, tidak menuntut adanya finalitas.[31]

 

BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

1.   Epistemologi Islam adalah studi tentang cara dan sumber pengetahuan dalam tradisi Islam, yang mengintegrasikan iman terhadap wahyu, akal, serta pengalaman. Karakteristiknya mencakup komprehensivitas, yaitu pengetahuan yang diperoleh tidak hanya dari pemikiran rasional, tetapi juga dari sumber-sumber spiritual dan tekstual, serta penekanan pada keutuhan antara aspek rasional dan non-rasional dalam pemahaman pengetahuan.

2.   Dalam konteks aliran epistemologi Islam, terdapat tiga pendekatan utama. Pertama, Aliran Bayani: mengutamakan pengetahuan yang bersumber dari teks-teks suci, seperti Al-Qur'an dan Hadis. Metodologinya berfokus pada penafsiran dan analisis kritis terhadap wahyu, dengan penekanan pada otoritas dan kerangka pemikiran yang tradisional. Kedua, Aliran Irfani: Berbasis pada pengalaman spiritual dan intuitif, aliran ini menekankan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman mistis dan makrifat. Metodologinya melibatkan introspeksi dan perjalanan spiritual untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran. Ketiga, Aliran Burhani: Mewakili pendekatan rasional yang berusaha menggunakan logika dan argumen filosofis untuk menjelaskan kebenaran. Metodologinya menitikberatkan pada bukti empiris dan rasionalitas dalam memperoleh pengetahuan, serta mengedepankan pembuktian fenomena melalui akal.

3.   Perbedaan metodologi pemikiran antara ketiga aliran tersebut terletak pada sumber dan cara memperoleh pengetahuan: Bayani menekankan pada teks dan interpretasi, Irfani pada pengalaman pribadi dan spiritual, dan Burhani pada penalaran rasional dan bukti empiris. Ketiga aliran ini saling melengkapi dalam memahami kompleksitas epistemologi Islam secara holistik

B.    . Saran

1.     Bagi penenlitian selanjutnya. Mendorong studi lanjutan yang membandingkan aliran Bayani, Irfani, dan Burhani dengan aliran pemikiran lain baik dalam Islam maupun di luar Islam, guna memperkaya pemahaman tentang kontribusi masing-masing aliran dalam diskursus keilmuan.

2.     Bagi pengembangan keilmuan, hendaknya meningkatkan publikasi karya ilmiah yang menggali lebih dalam tentang pengaruh praktis masing-masing aliran dalam kehidupan sehari-hari dan berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti sosiologi, psikologi, dan teologi.



[1] Zulpa Makiah, “‘Epistemologi Bayani, Burhani, Dan Irfani Dalam Memperoleh Pengetahuan Tentang Mashlahah,” Jurnal: Syariah 14, no. 2 (2014).

[2] J Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta, 2002).

[3] Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005).

[4] Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan.

[5] Hikmah, Muslimah, and Sardimi, “Epistemologi Ilmu Dalam Perspektif Islam,” Akademika 15, no. 2 (2021): 31–40.

[6] Andi Fitriani Djollong, “Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam,” Istiqra` : Jurnal Pendidikan Dan  Pemikiran Islam 3, no. 1 (2015): 8–7.

[7] Sulton Nur Falaq Marjuki et al., “Konsep Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani Dalam Filsafat Pendidikan Islam,” Dinamika 9, no. 1 (n.d.): Juni 2024.

[8] Ahmad Idrus, “Epistimologi Bayani, Irfani Dan Burhani,” An-Nidhom: Jurnal Manajemen Pendidikan  Islam 4, no. 1 (2019).

[9] Musliadi, “Epistemologi Keilmuan Dalam Islam: Kajian Terhadap Pemikiran M.Amin Abdullah,” Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA 13, no. 2 (February 2014): 160–83.

[10] Wira Hadi Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi  Studi Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding,” Syi’ar 18, no. 1 (2018).

[11] Mochamad Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani),” Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam 3, no. 2 (June 2018).

[12] Idrus, “Epistimologi Bayani, Irfani Dan Burhani.”

[13] Nada Nur Aini and Andi Prastowo, “Implementasi Metode Burhani Dan ‘Irfani Dalam Studi Filsafat Pendidikan Islam,” Andragogi: Jurnal Pendidikan Islam Dan Manajemen Pendidikan Islam 3, no. 2 (2022): 296–302, https://doi.org/10.36671/andragogi.v3i2.228.

[14] Marjuki et al., “Konsep Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani Dalam Filsafat Pendidikan Islam.”

[15] Muhammad Syarif, “Pendekatan Bayani, Burhani Dan Irfani Dalam Pengembangan Hukum Islam,” Jurnal Al-Mizan 9, no. 2 (2022): 169–87.

[16] Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani).”

[17] Hasyim.

[18] Idrus, “Epistimologi Bayani, Irfani Dan Burhani.”

[19] Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi  Studi Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding.”

[20] Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani).”

[21] Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan.

[22] Aini and Prastowo, “Implementasi Metode Burhani Dan ‘Irfani Dalam Studi Filsafat Pendidikan Islam.”

[23] Djollong, “Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam.”

[24] Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani).”

[25] Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan.

[26] Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik.

[27] Idrus, “Epistimologi Bayani, Irfani Dan Burhani.”

[28] Hasyim, “Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani).”

[29] Idrus, “Epistimologi Bayani, Irfani Dan Burhani.”

[30] Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani Dan Burhani Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi  Studi Agama Untuk Resolusi Konflik Dan Peacebuilding.”

[31] Marjuki et al., “Konsep Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani Dalam Filsafat Pendidikan Islam.”

Komentar

Postingan Populer