Landasan Pendidikan Islam- PANDANGAN FILOSOFIS DAN TEOLOGIS TENTANG HAKIKAT LINGKUNGAN/ALAM SEBAGAI LANDASAN PENDIDIKAN

 

 


Written by: Rofiqa Zulfa Salsabila

A.     Pandangan Filosofis Islam tentang Hakikat Lingkungan atau Alam

Pandangan filosofis Islam mengenai hakikat lingkungan atau alam merupakan suatu kajian yang menarik dan kompleks. Dalam tradisi pemikiran Islam, alam bukan hanya dianggap sebagai sekumpulan objek fisik yang dapat dimanfaatkan, tetapi memiliki makna yang lebih dalam dan berhubungan erat dengan konsep ketuhanan, manusia, dan tujuan penciptaan.

Kata alam berasal dari bahasa Arab 'a-l-m, satu akar kata dengan 'ilm (pengetahuan) dan alamat (pertanda). Disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda (dapat sebagai pertanda) adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Yunani alam jagad raya ini disebut cosmos yang berarti serasi.[1] Alam sebagai pertanda adanya Pencipta, sejalan dengan pandangan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa alam semesta adalah sebuah pertanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang berada di afasnya dan bahwa tanpa sesuatu itu alam semesta beserta sebab-sebab alamiahnya tidak pernah ada.[2]     Dari ungkapan-ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa alam ini adalah makhluk ciptaan Allah. Dalam sisi pandang yang lain alam ini adalah cakrawala langit, bumi, bintang, gunung dan daratan, sungai dan lembah, tumbuh-tumbuhan, binatang, insan dan segala benda-benda dengan seluruh sifat-sifatnya. Ada juga yang disebut alam syahadah dan alam ghaib.

Dalam kaitannya dengan itu Abu al-'Ainain juga mengklasifikasikan alam ke dalam Pertama alam syahadah/yang terindra dan dapat dijangkau oleh aqal seperti halnya langit dan bumi beserta benda-benda yang ada di sekitarnya. Kedua alam ghaib yang dapat dipahami dengan keterbukaan ruhani/hati terhadap informasi wahyu yang dibawa para Nabi, seperti halnya Malaikat, jin, syaithan dan sebagainya. Bahwa alam ini tercipta tidak dengan sendirinya, tetapi adalah diciptakan, dalam proses sesuai dengan sunnah Sang Pencipta, dapat dipahami hanya oleh manusia-manusia yang menggunakan akal budinya.[3]

Menurut Nurcholish Madjid, kosmos atau alam dalam perspektif Al-Qur’an  tidak hanya terfokus pada proses penciptaan, melainkan pada eksistensi dan tujuan diciptakannya alam itu. Dalam slah satu analisisnya dinyatakan yang pertama-tama harus dipahami dengan mantap tentang alam raya ini, sepanjang keterangan yang kita dapatkan dalam al-Qur'an, ialah eksistensinya yang "haq" yakni benar dan nyata serta baik. Sebagaimana beliau menguti Surah Al-Anbiya' ayat 16 Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاۤءَ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لٰعِبِيْنَ

Artinya: Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan main-main.

Nurcholis Majid dalammenjelaskan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah "dengan haq" (bi al haq), tidak diciptakan Tuhan secara main-main (la'ab), dan tidak pula secara palsu, karena bereksistensi benar dan nyata, maka semua bentuk pengalaman didalamnya, termasuk pengalaman hidup manusia, adalah benar dan nyata; ia bisa memberikan kebahagiaan atau kesengsaraan dalam kemungkinan yang sama, tergantung bagaimana menangani pengalaman itu.[4] Maka dari itu, manusia dibenarkan untuk berharap memperoleh kebahagiaan dalam hidup sementara di dunia ini, selain kebahagiaan di akhirat kelak yang lebih besar, kekal dan abadi.

Kehidupan dapat digunakan untuk berharap dan mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka tentunya dan seharusnya manusia tidak menyia nyiakannya. Semua yang diciptakan oleh Allah adalah untuk kemanfaatan bagi manusia, sehingga manusia seharusnya tidak melupakan bahwa itu semua "berasal dari Dia", yakni dari Tuhan.

Dengan analisis tersebut dapat dipahami bahwa perspektif Fttsafat Pendidikan Islam tentang alam tidak sama dengan perspektif kaum idealis ataupun materialis. Kaum idealis memandang alam sebagai sesuatu yang maya, palsu berupa tipuan dan yang nyata adalah yang ada dalam idea. Alam dipandang sebagai sesuatu yang bersifat rohani. Sementara kaum materialis berpandangan bahwa apa saja yang ada sekaligus bersifat kealaman dan bersifat kebendaan mati.

Dalam perpsktif Filsafat Pendidikan Islam bahwa alam semesta diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sesuai sunnah-Nya, yang sebagiannya sudah dapat dipahami manusia melalui penemuan-penemuan rasionya. Alam ini merupakan kenyataan yang sebenarnya, bukan sesuatu yang maya yang hampa. Karenanya dapat dimanfaatkan oleh manusia sebagai fasilitas dan perangkat untuk memenuhi kebutuhannya sebagai ciptaan yang terbaik." Sekaligus dalam menunaikan tugas tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi ini serta sebagai hamba yang berkewajiban mengabdi kepada Allah."[5]

Lebih jauh Fazlur Rahman merumuskan pandangan tentang alam berdasarkan perspektif Al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa "ajaran fundamental Al-Qur’an tentang alam semesta adalah:[6]

a.     Bahwa ia merupakan sebuah kosmos, sebuah tatanan;

b.     Bahwa ia merupakan suatu tatanan yang berkembang, yang dinamis;

c.     Bahwa ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia tetapi harus ditanggapi secara serius.

Perbincangan dan pemikiran mendalam mengenai alam semesta telah melahirkan perdebatan dan perbedaan yang tidak hanya terjadi pada kalangan filosof muslim tetapi juga pada filosof Non Muslim. Alam menurut al-Kindi adalah ciptaan Allah yang beredar menurut aturan-Nya. Ia tidak qadim, tetapi mempunyai permulaan. Namun dalam al-Quran sendiri tidak dijelaskan secara tegas, apakah alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan. Namun lain halnya bagi al-Farabi dan Ibnu Sina dengan filsafat emanasinya. Bagi mereka Allah SWT telah menciptakan alam ini semenjak ‘azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sementara itu, Stephen W. Hawking dalam Efa Ida Amalia menyatakan bahwa alam semesta berawal pada saat yang tak terdefinisi. Artinya bahwa alam semesta ini diciptakan pada masa yang lampau dan pada waktu yang juga tidak begitu jelas.

Berpegang pada dalil-dalil Al-Qur’an yang ada, maka alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT adalah untuk kepentingan manusia dan untuk dipelajari manusia agar manusia dapat menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai manusia di muka bumi ini[7]. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Mulk/67: 15.

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ

Artinya: Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.

Ayat di atas juga diperkuat melalui firman-Nya yang lain dalam surat Luqman/31: 20,

اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ

Artinya: Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

Dari penggalan ayat-ayat suci al-Qur’an diatas, bisa dipahami bahwa Allah SWT. telah menciptakan manusia di muka bumi ini dengan menyertakan berbagai potensi-potensi dan pengetahuan dalam diri mereka demi keberlangsungan hidupnya. Manusia dituntut untuk survive di setiap kondisi lingkungan yang mereka tempati. Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki tersebut, manusia diberi kewenangan untuk melakukan tindakantindakan bijak dalam memanfaatkan seluruh kekayaan alam yang tersedia.[8] Dengan kata lain, manusia tidak dibenarkan dalam pemanfaatan sumber daya alam dilakukan dengan semena-mena, sehingga menimbulkan dampak-dampak buruk terhadap kelestarian lingkungan dan kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

Adanya alam yang secara fisik bisa disaksikan oleh manusia melalui inderanya seharusnya bisa memberikan pemahamanpemahaman tentang tanda-tanda kekuasaan-Nya, sehingga pada akhirnya pemahaman tersebut akan semakin mendekatkan manusia pada Sang Pencipta alam semesta. Namun, tentunya tidak semua manusia dapat membaca tanda-tanda atau ‘alamah yang sudah diberikan Tuhan melalui makhluk ciptaan-Nya yang tersebar di segenap penjuru alam.

Manusia sendiri dibagi menjadi tiga konsep, yakni al-insan, al-basyar, dan al-nas. Hal ini mengindikasikan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan Islam harus diarahkan pada upayaupaya pengembangan segenap potensi yang dimiliki, baik lahiriah maupun jasmaniah.[9] Dengan demikian, manusia berbekal potensi-potensi tersebut dengan didukung oleh seperangkat ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan yang baik akan mampu menjadi hamba Allah SWT yang selalu patuh dan taat pada apa yang telah dititahkan oleh Allah SWT, sehingga pada gilirannya nanti ia akan mampu melaksanakan amanat sebagai wakil Allah SWT di muka bumi ini yang bertugas mengelola alam semesta dengan arif dan bijaksana serta penuh tanggung jawab. Sementara itu, alam diciptakan oleh Allah SWT untuk dikelola dengan baik agar bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia itu sendiri. Selain itu pula, ia diciptakan oleh Allah SWT untuk dijadikan sebagai media bagi pendidikan Islam guna memahami akan eksistensi-Nya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pandangan filosofis Islam tentang hakikat lingkungan menawarkan perspektif yang kaya dan mendalam. Alam dipandang bukan sekadar objek untuk eksploitasi, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Melalui pemahaman akan hubungan simbiotik antara manusia dan alam, serta penerapan nilai-nilai etis dalam pengelolaan lingkungan, kesadaran akan hakikat lingkungan seharusnya menjadi pendorong bagi setiap individu untuk bertindak demi kebaikan bersama, mendirikan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan harmonis. Dengan memahami hakikat ini, umat manusia diharapkan dapat menunaikan amanah dan tanggung jawabnya dengan sepenuh hati.

 

B.      Landasan Teologis Islam tentang Hakikat Lingkungan atau Alam

Teologi adalah pelajaran mengenal Allah. Teologi dalam Islam berarti Tauhi yang berarti Esa. Teologi dalam Islam juga disebut kalam yang berarti kata-kata oleh sebab itu berbicara tentang Teologi berarti kita juga berbicara tentang Tuhan.

Allah SWT, telah menciptakan alam dan isinya termasuk manusia dan lingkungan hidupnya, di mana manusia mendapatkan mandat untuk mengelola dan memakmurkan bumi (khalifah Allah). Secara historis, sepanjang sejarah kehidupan manusia telah terjadi dinamika sosial yang kental dengan perubahan-perubahan, baik perubahan sosial masyarakat manusia maupun perubahan di lingkungan hidup manusia akibat ulah mereka manusia. Guna memperoleh kelestarian umat manusia dan lingkungan hidupnya, maka manusia hendaknyalah diposisikan dan difungsikan secara maksimal dan optimal sebagai penerima amanat dari Sang Pencipta untuk memelihara dan memakmurkan serta melestarikan lingkungan hidup, guna terwujudkannya kemaslahatan manusia secara universal di dunia dan keselamatan di akhirat.[10]

Jagat raya seisinya, adalah alam semesta ciptaan Allah, karena makhluk Allah maka manusia, langit, bumi dan yang lainnya, adalah bagian dari alam. Walaupun begitu manusia merupakan makhluk yang mulia. Allah SWT. menciptakan manusia tidak hanya berbeda dengan makhluk lainnya, tetapi juga memberi kelebihan yang tidak diberikan kepada yang lainnya. Allah menciptakan manusia dalam wujud sebaik-baik kejadian, sebagaimana firman Allah surat Al-Tin ayat 4:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

Artinya: Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Manusia dianugerahi akal, dengan akal itu manusia bisa berpikir, memilih yang benar dan yang salah, memilih yang baik dan buruk, dan dengan akal itu manusia bisa mengembangkan kehidupannya. Akal itulah yang merupakan kelebihan manusia dibanding makhluk-makhluk lainnya, di samping memiliki indra utama, pendengaran dan penglihatan. Karena akal itu pula manusia dimintai tanggung jawab atas perbuatan sebagai hasil oleh akalnya.

Dalam ayat lain Allah berfirman di surat Al-Nahl ayat 78:

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Dalam hal kesempurnaan wujud dan kelengkapan indra hati akal, ayat-ayat tersebut menyuruh manusia agar bersyukur kepada Allah SWT. dan semua yang dilakukannya itu akan dituntut tanggung jawabnya. Suruhan dan tuntutan itu sebagai isyarat kepada manusia untuk memanfaatkan apa yang dimilikinya dengan sebaik-baiknya kemudian akan dikembalikan dalam bentuk yang seburuk-buruknya kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh[11].

Islam mengajarkan bahwa masalah lingkungan timbul disebabkan karena tidak adanya keseimbangan antara manusia dan sumber-sumber daya alam ekosistem tempat hidup manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur sumber daya yang lain. Karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung dari kelestarian ekosistemnya. Apabila keseimbangan lingkungan tersebut terganggu dan tidak diantisipasi serta dikembalikan sedini mungkin, maka lingkungan hidup manusia akan bertambah rusak dan binasa.

Jelaslah kiranya bahwa memelihara dan membangun lingkungan di permukaan bumi ini adalah ajaran yang penting dalam Islam. Pendidikan agama yang bercorak intelektualistis dan pelaksanaan ibadah yang formalistis dewasa ini belum mampu membina hidup kerohanian dan moral umat.[12] Di sinilah pentingnya agama bagi manusia yang dengan tegas menjelaskan sesuatu yang hak itu adalah hak pada hakekatnya dan bahwa sesuatu yang batil itu pada hakekatnya adalah batil, sementara manusia kadangkala mengalami kesulitan dan kebimbangan dalam penilaiannya jika hanya keputusan berdasarkan logika saja yang dijadikan rujukan.

Kelebihan dan keistimewaan manusia itu menempatkannya sebagai makhluk yang terhormat dan memperoleh martabat yang tinggi. Dengan martabat yang demikian tinggi itu, maka manusia dijadikan khalifah atau wakil Tuhan di bumi.

Dari uraian di atas dapat dipahami dan diyakini, bahwa hubungan manusia dengan alam sekitarnya adalah hubungan yang terkait satu sama lain. Alam semesta ciptaan Allah dan lingkungan tempat manusia hidup merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia secara keseluruhan.

Bahkan amat nyata benar bahwa hubungan itu dibingkai dengan aqidah dan syari’ah; kita beriman bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Allah, dan kita meyakini bahwa manusia sebagai ciptaan Allah di muka bumi dengan tugas utamanya memakmurkan bumi, yang intinya meliputi:[13]

1.     Al-Intifa’ (mengambil manfaat dan mendayagunakan sebaik-baiknya).

2.     Al-I’tibar (mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri, seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan Allah).

3.     Al-Islah (memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan maksud sang pencipta, yakni untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia, serta tetap terjaganya harmoni kehidupan alam ciptaan Allah.

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan landasan teologis, pada hakikatnya manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain seperti hewan ditinjau dari karakteristiknya, karena manusia potensi-potensi dan akal yang dapat digunakan untuk memelihara dan memakmurkan serta melestarikan lingkungan

C.     Hakikat Lingkungan atau Alam Sebagai Landasan Pendidikan

Ada dua kata yang perlu dipahami sebelum mendefinisikan lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan atau environment dan pendidikan. Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan serta makhluk hidup lainnya. Sartain, psikolog asal Amerika menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan pada dasarnya adalah meliputi semua kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu dapat mempengaruhi tingkah laku individu, serta pertumbuhan dan perkembangan atau life processes.[14]

Milieu atau lingkungan sebagaimana dikutip oleh Sama’un Bakry, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan adalah sesuatu yang ada di sekeliling tempat anak melakukan adaptasi, meliputi: lingkungan alam, seperti udara, daratan, pegunungan, sungai, danau, lautan, dan sebagainya. Lingkungan sosial, seperti rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Pendapat lain mengatakan bahwa di dalam lingkungan itu tidak hanya terdapat sejumlah faktor, melainkan terdapat pula faktor-faktor lain yang banyak jumlahnya, yang secara potensial dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan tingkah laku anak. Tetapi secara aktual hanya faktor-faktor yang ada di sekeliling anak tersebut yang secara langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan tingkah laku anak.[15]

Secara fisiologis, lingkungan meliputi segala kondisi dan material jasmaniah di dalam tubuh anak, seperti gizi, vitamin, air, zat asam, suhu, sistem syaraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan makanan, kelenjar-kelenjar indoktrin, selsel pertumbuhan, dan kesehatan jasmani.

Secara psikologis, lingkungan mencakup segala stimulasi yang diterima oleh individu mulai sejak dalam konsepsi, kelahiran, sampai matinya. Stimulasi itu misalnya berupa sifat genus, interaksi genus, selera, keinginan, perasaan, tujuantujuan, minat, kebutuhan, kemauan, emosi, dan kapasitas intelektual.

Secara sosio cultural, lingkungan mencakup segenap stimulasi, interaksi, dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan perlakuan ataupun karya orang lain. Pola hidup keluarga, pergaulan kelompok, pola hidup masyarakat, latihan, pendidikan, belajar, pengajaran, bimbingan, dan penyuluhan adalah termasuk lingkungan ini.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa lingkungan pendidikan dapat diartikan sebagai berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap praktik pendidikan. Lingkungan pendidikan sebagai berbagai lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan, yang merupakan bagian dari lingkungan sosial.

Abuddin Nata menjelaskan bahwa lingkungan adalah segala suatu yang mengitari kehidupan, baik fisik (seperti alam, jagad raya dan segala isinya), maupun non fisik (seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai, dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang serta teknologi). Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung.[16]

Ditinjau dari pengaruhnya terhadap peserta didik, Abdurrahman Saleh membagi lingkungan menjadi tiga, yaitu lingkungan yang berpengaruh positif, lingkungan yang berpengaruh negative, dan lingkungan yang berpengaruh netral. Sartain membagi lingkungan menjadi tiga, yaitu lingkungan alam/luar atau external environment, lingkungan dalam atau internal environment, dan lingkungan sosial atau social environment.

Al-Syaibany mengemukakan bahwa lingkungan adalah ruang lingkup luar yang berinteraksi dengan insan yang menjadi medan dan aneka bentuk kegiatannya. Keadaan sekitar benda-benda, seperti: air, udara, bumi, langit, matahari, dan sebagainya juga masyarakat yang merangkumi insan pribadi, kelompok, institusi, system, undang-undang, adat istiadat, dan sebagainya.

Selanjutnya, Zakiah Daradjat juga menjelaskan bahwa pengetahuan tentang lingkungan, bagi para pendidik merupakan alat untuk dapat mengerti, memberikan penjelasan dan mempengaruhi anak secara lebih baik. Misalnya, anak manja biasanya berasal dari lingkungan keluarga yang anaknya tunggal atau anak yang yang nakal di sekolah umumnya di rumah mendapat didikan yang keras atau kurang kasih sayang atau kurang mendapat perhatian gurunya.[17]

Dengan demikian lingkungan adalah segala yang ada di sekitar anak, baik berupa benda-benda, peristiwaperistiwa yang terjadi, maupun kondisi masyarakat, terutama yang dapat memberi pengaruh yang kuat terhadap anak yaitu lingkungan di mana proses pendidikan berlangsung dan lingkungan di mana anak bergaul seharihari. Menurut H. M. Hafi Anshari pengaruh lingkungan terhadap anak didik dapat positif dan dapat pula negatif. Positif apabila memberikan dorongan terhadap keberhasilan proses pendidikan, dan negative apabila menghambat keberhasilan proses pendidikan.[18]

Lingkungan pendidikan pada dasarnya mencakup lingkungan fisik, lingkungan budaya, dan lingkungan sosial. Lingkungan pendidikan merupakan latar tempat berlangsungnya pendidikan, khususunya pada lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat, dimana sekolah itu berada. Lingkungan pendidikan yang baik, yaitu yang dapat mendukung pencapaian tujuan pendidik secara optimal. Manusia sepanjang hidupnya akan mendapatkan pengaruh dari keluarga, sekolah dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan tersebut disebut Tri Pusat Pendidikan, yang akan mempengaruhi manusia dari segi perilaku, perkembangan dan pertumbuhannya.

Nasution dalam bukunya menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dipelajari individu harus dipelajari dari anggota masyarakat lainnya, secara sadar apa yang diajarkan oleh orang-orang tua, saudara-saudara, anggota keluarganya yang lain dan di sekolah kebanyakan oleh gurunya. Dengan tak sadar ia belajar dengan mendapat informasi secara insidental dalam berbagai situasi sambil mengamati kelakuan orang lain, membaca buku, menonton televisi, mendengar percakapan orang dan sebagainya atau menyerap kebiasaan-kebiasaan dalam lingkungannya.[19]

Perkembangan setiap manusia dari interaksinya dengan lingkungan sekitar dimana ia tinggal akan berjalan secara alamiah, tetapi perkembangan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan atau bahkan bisa menyimpang. Oleh karena itu, diperlukan usaha sadar untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan yang sedemikian rupa agar mempunyai orientasi pada tujuan pendidikan.

Fungsi kedua lingkungan pendidikan adalah mengajarkan tingkah laku umum dan untuk menyeleksi serta mempersiapkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Hal ini karena masyarakat akan berfungsi dengan baik jika setiap individu belajar berbagai hal, baik pola tingkah laku umum maupun peranan yang berbedabeda. Dalam menjalankan kedua fungsinya, lingkungan pendidikan haruslah digambarkan sebagai kesatuan yang utuh di antara berbagai ragam bentuknya. Untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan secara menyeluruh, masingmasing lingkungan mempunyai andil dalam mencapainya.

Ki Hajar Dewantoro membedakan lingkungan pendidikan menjadi tiga, dan yang kita kenal dengan Tri Pusat Pendidikan yaitu:[20]

1.     Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan antar golongannya bersifat khas. Di lingkungan inilah terletak dasar-dasar pendidikan. Disini pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku didalamnya. Lingkungan Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pertama dimana anak mendapat didikan dan bimbingan, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah dalam keluarga.

Menurut Mohammad Surya dalam bukunya menjelaskan bahwa dari sekian banyak faktor -faktor yang mengkondisikan penyesuaian diri, tidak ada satupun faktor yang lebih penting selain faktor rumah dan keluarga, karena keluarga merupakan satuan kelompok sosial terkecil dan merupakan lingkungan awal bagi perkembangan individu. Lingkungan alam tempat individu dilahirkan dan dibesarkan akan banyak mempengaruhi kondisi perkembangan individu.[21]

Interaksi sosial yang pertama diperoleh individu adalah dalam keluarga yang kemudian akan dikembangkan di masyarakat. Terdapat beberapa karakteristik kehidupan keluarga yang merupakan penyesuaian diri, yaitu:

a.   Susunan keluarga, yaitu besar kecilnya keluarga, siapa yang lebih berkuasa, jumlah anak, perbandingan anak perempuan, dan laki – laki, dsb.

b.   Peranan-peranan sosial dalam keluarga yaitu setiap peranan sosial yang dimainkan oleh setiap anggota keluarga. Peranan sosial ini dipengaruhi oleh sikap dan harapan orang tua terhadap anaknya, faktor umur, dan jenis kelamin.

c.   Keanggotaan yaitu sejauh mana anggota keluarga merasakan sebagai bagian dari kelompok.

d.   Kohesi keluarga yaitu kekuatan petautan antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya.

Islam memandang, bahwa keluarga merupakan lingkungan yang paling berpengaruh pada pembentukan kepribadian seorang anak. Hal ini disebabkan:[22]

a.   Tanggung jawab orang tua pada anak bukan hanya bersifat duniawi, melainkan ukhrawi dan teologis. Tugas dan tanggung jawab orang tua dalam membina kepribadian anak merupakan amanah dari Tuhan.

b.   Orang tua disamping memberikan pengaruh yang besifat empiris setiap harinya, juga memberikan pengaruh hereditas dan genesitas, yakni bakat dan pembawaan serta hubungan darah yang melekat pada diri anak.

c.   Anak lebih banyak tinggal atau berada di rumah dibandingkan di luar rumah.

d.   Orang tua atau keluarga lebih dulu memberikan pengaruh, dan pengaruh yang lebih dulu tersebut pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh yang datang belakangan

2.     Lingkungan Sekolah

Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak. Maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagi pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Dengan sekolah, pemerintah mendidik generasi penerus bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakat si anak yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsanya.[23]

Sekolah sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat pendidikan, maka dari itu sekolah sebagai tempat atau lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, lebih-lebih mempunyai fungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagi pengganti orang tua yang harus ditaati. Sekolah memiliki tugas utama dalam membimbing anak-anak sebagai lembaga pendidikan, diantaranya yaitu:

a.   Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.

b.   Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.

c.   Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapankecakapan seperti membaca, menulis, berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.

d.   Di sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan benar / salah, dan sebagainya.

Zakiah Daradjat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam membedakan antara rumah dengan sekolah, baik dari segi suasana, tanggung jawab, maupun kebebasan dan pergaulan. [24]

a.   Suasana

Rumah adalah tempat anak dilahirkan dan langsung menjadi anggota baru dalam rumah tangga. Kelahirannya disambut oleh orang tuanya dengan gembira dan kerapkali dirayakan. Sedangkan sekolah adalah tempat anak belajar. Ia berhadapan dengan guru yang tidak dikenalnya. Guru itu selalu berganti-ganti. Kasih guru kepada murid tidak mendalam seperti kasih sayang orang tua kepada anaknya, sebab guru dan murid tidak terikat oleh kekeluargaanMengamalkan ajaran agama tersebut sebelum diajarkan kepada muridnya. Oleh karenanya pendidik agama Islam di sekolah mempunyai tanggung jawab yang lebih berat daripada penididik studi pengetahuan umum

b.   Tanggung Jawab

Keluarga, yaitu orang tua bertanggung jawab penuh atas pemeliharaan anakanaknya sejak mereka dilahirkan, dan bertanggung jawab penuh atas pendidikan watak anak-anaknya. Jika ternyata perangai seorang guru menimbulkan pengaruh yang tidak baik pada anak, orang tua berhak memindahkan anaknya ke sekolah lain. Sedangkan sekolah lebih bertanggung jawab terhadap pendidikan intelek (pengetahuan anak) serta pendidikan keterampilan (skill) yang berhubungan dengan kebutuhan anak tersebut untuk hidup di dalam masyarakat nantinya, dan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. [25]

c.   Kebebasan

Di rumah anak bebas dalam gerak geriknya, ia boleh makan apabila lapar, tidur apabila mengantuk. Ia boleh bermain. Ia tidak dilarang mengeluarkan isi hatinya selama tidak melanggar kesopanan. Sedangkan di sekolah suasana bebas seperti itu tentu dibatasi. Di sekolah ada aturan-aturan tertentu yang harus ditaati. Sekolah dimulai pada waktu yang ditentukan, dan ia harus duduk selama waktu itu pada tempat yang ditentukan pula. Ia tidak boleh meninggalkan atau menukar tempat, kecuai seizin gurunya. Jadi, ia harus menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan yang ada.

d.   Pergaulan

Kehidupan dan pergaulan dalam lingkungan keluarga senantiasa diliputi oleh rasa kasih sayang diantara anggota- anggotanya. Sedangkan kehidupan atau pergaulan di sekolah bersifat lebih lugas. Di sekolah harus ada ketertiban dan peraturan-peraturan tertentu yang harus ditaati oleh tiap-tiap murid dan guru. Anak tidak boleh ganggumengganggu, masing-masing hendaklah melakukan tugas dan kewajiban menurut peraturan- peraturan yang telah ditetapkan

3.     Lingkungan Masyarakat

Di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh warganya dan normanorma itu berpengaruh dalam pembentukan kepribadian warganya dalam bertindak dan bersikap. Norma-norma dalam lingkungan masyarakat tersebut merupakan aturan-aturan yang ditularkan atau diwariskan oleh generasi tua kepada generasi mudanya. Penularan-penularan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan ini sudah merupakan proses dalam pendidikan di masyarakat.[26]

Umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab perkumpulan dan persekutuan hidup masyarakat yang memberikan anak-anak untuk hidup dan mempraktekkan ajaran Islam rajin beramal, cinta damai, toleransi, dan suka menyambung Ukhuwah Islamiah, sebaliknya lingkungan yang tidak menghargai ajaran Islam maka dapat menjadikan anak apatis atau masa bodoh kepada agama Islam.[27]

Menurut Drs. Abdurrahman Saleh ada tiga macam pengaruh Lingkungan pendidikan terhadap perkembangan peserta didik yaitu:[28]

a.     Lingkungan yang acuh tak acuh terhadap agama. Lingkungan semacam ini adakalanya berkeberatan terhadap pendidikan agama, dan adakalanya pula agak sedikit tahu tentang hal itu.

b.     Lingkungan yang berpegang kepada tradisi agama tetapi tanpa keinsafan batin; biasanya lingkungan demikian menghasilkan anak-anak beragama yang secara tradisional tanpa kritik atau beragama secara kebetulan.

c.     Lingkungan yang memiliki tradisi agama dengan sadar dan hidup dalam kehidupan agama. Lingkungan ini memberikan motivasi (dorongan) yang kuat kepada anak-anak untuk memeluk dan mengikuti pendidikan agama yang ada. Apabila lingkungan ini ditunjang oleh pimpinan yang baik dan berkesempatan yang memadai, maka kemungkinan besar hasilnya pun paling baik



[1] Muhammad Rizal and Muhammad Guntur Alting, “Teori Alam Dalam Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Teori Manajemen Waktu Dalam Penciptaan Alam,” Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial Keagamaan 20, no. 2 (December 29, 2023): 227–42, https://doi.org/10.46781/al-mutharahah.v20i2.830.

[2] R Sari, “Al-Qur’an Sebagai Panduan Dalam Pembentukan Lingkungan Pendidikan Yang Positif,” Jurnal Pendidikan Dan Pendidikan Islam 4, no. 2 (2021): 99–112, https://doi.org/10.24087/jpdi.v4i2.2574.

[3] D Ratnawati, “Hubungan Antara Lingkungan Pendidikan Islam Dengan Prestasi Belajar Siswa,” Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan 6, no. 88–99 (2021), https://doi.org/10.24036/jpk.v6i1.1743.

[4] Budhy Munawar, Pemikiran Islam Nurcholish Madjid (Bandung: PRODI S2 STUDI AGAMA-AGAMA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG, 2022).

[5] Rizal and Guntur Alting, “Teori Alam Dalam Filsafat Pendidikan Islam.”

[6] Muhammad Amin Saleh Al-Habsy, “Pemikiran Teologi Fazlur Rahman,” Al-Hikmah 7, no. 2 (November 30, 2021): 141, https://doi.org/10.30651/ah.v7i2.7044.

[7] E Rasyid, “Etika Pendidikan Dalam Al-Qur’an: Implikasi Bagi Lingkungan Sekolah,” Urnal Pendidikan Islam: Studi Dan Penelitian 6, no. 2 (n.d.): 79–95, https://doi.org/10.2307/jpsi.v6i2.2986.

[8] N Hidayati, “Relevansi Pendidikan Islam Terhadap Pengembangan Karakter Di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Islam Indonesia 5, no. 1 (2020): 41–56, https://doi.org/10.14421/jpii.v5i1.1862.

[9] Mila Hasanah, Landasan Pendidikan Islam (Mataram: CV. Kanhayakarya, 2021).

[10] Muhammad Wahid Tualeka, “TEOLOGI LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF ISLAM,” n.d.

[11] A Abdurrahman, “Peran Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik,” Jurnal Pendidikan Islam 7, no. 1 (2018): 25–38, https://doi.org/10.14421/jpi.2018.71.25-38.

[12] Saleh Al-Habsy, “Pemikiran Teologi Fazlur Rahman.”

[13] A Alamsyah, “Pendidikan Dalam Al-Qur’an: Konsep Dan Implementasinya Dalam Kehidupan,” Jurnal Pendidikan Islam 8, no. 1 (2019): 55–70, https://doi.org/10.14421/jpi.2019.81.55-70.

[14] Prasetyo, “Integrasi Pendidikan Agama Dalam Kurikulum Nasional Di Indonesia.”

[15] U Ahmad, “Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Islam Dalam Lingkungan Pendidikan,” Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 8, no. 2 (2020): 123–40, https://doi.org/10.14421/jppi.v8i2.123.

[16] Rasyid, “Etika Pendidikan Dalam Al-Qur’an: Implikasi Bagi Lingkungan Sekolah.”

[17] Hamidah Olfah, “PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT TENTANG PENDIDIKAN ISLAM BAGI REMAJA,” Educatioanl Journal: General and Specific Research 3, no. 1 (n.d.).

[18] Ratnawati, “Hubungan Antara Lingkungan Pendidikan Islam Dengan Prestasi Belajar Siswa.”

[19] Annisa Nasution, “HAKIKAT PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM,” POPULER: Jurnal Penelitian Mahasiswa 1, no. 3 (November 2022).

[20] Ahmad, “Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Islam Dalam Lingkungan Pendidikan.”

[21] S Kusuma, “Pengaruh Lingkungan Keluarga Terhadap Proses Pendidikan Islam Anak,” Jurnal Studi Pendidikan Islam 6, no. 2 (2021): 108–18, https://doi.org/10.22373/jspi.v6i2.2717.

[22] A Sanusi, “Lingkungan Keluarga Dan Kontribusinya Terhadap Pendidikan Islam Anak,” Jurnal Pendidikan Dasar 4, no. 1 (2021): 33–47, https://doi.org/10.21067/jpd.v4i1.1200.

[23] R Situmorang, “Pendidikan Islam Dan Pengembangan Karakter Di Sekolah Dasar.,” Jurnal Pendidikan Dasar Islam 3, no. 1 (2022): 55–70, https://doi.org/10.22487/jpdi.v3i1.1234.

[24] Olfah, “PEMIKIRAN PROF. DR. ZAKIAH DARADJAT TENTANG PENDIDIKAN ISLAM BAGI REMAJA.”

[25] R Yuliana and M Suyadi, “Peran Guru Dalam Mewujudkan Lingkungan Pendidikan Islam Yang Positif,” Jurnal Pendidikan Islam: Studi Dan Penelitian 5, no. 1 (n.d.): 67–80, https://doi.org/10.2307/jpi.v5i1.567.

[26] S Ali, “Strategi Penerapan Pendidikan Islam Dalam Masyarakat Modern,” Jurnal Ilmu Dan Pendidikan Islam 10, no. 113–128 (2019), https://doi.org/10.24042/jipi.v10i2.4434.

[27] Ratnawati, “Hubungan Antara Lingkungan Pendidikan Islam Dengan Prestasi Belajar Siswa.”

[28] Abdurrahman, “Peran Pendidikan Islam Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik.”

Komentar

Postingan Populer