Sejarah- PERKEMBANGAN ISLAM MASA KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN

 

 

A.     Perkembangan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Kalimantan

Kerajaan Islam di Kalimantan Umumnya berdiri pada abad ke-16, 17, 18, namun ada juga yang berdiri pada abad ke-19 berupa kerajaan kecil. Peralihan dari kerajaan bercorak Hindu ke kerajaan Islam berlangsung dari awal abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Setelah itu tidak ada lagi kerajaan yang bercorak hindu di wilayah Kalimantan.

Berdirinya kerajaan Islam selama 3 abad berturut-turut menjadi masa penting bagi pertumbuhan agama Islam dan Politik Islam sekaligus menjadi tanda runtuhnya kekuasaan dan pengaruh Hindu-Budha di kawasan Kalimantan.

Pada awal abad ke-16 islam berkembang secara luas dan masif di kalangan penduduk kalimantan. Islam mengalahkan agama lain yang telah ada sebelumnya, baik Hindu-Budha, maupun kepercayaan lokal, seperti kaharingan dan tetap menjadi agama yang dominan ketika agama kristen masuk dibawa oleh bangsa-bangsa barat.[1]

Pada masa kerajaan Islam, Islam memiliki kontribusi besar dalam perubahan dan perkembangan suatu daerah. Kontribusi tersebut terkumpul dalam 3 bidang, yaitu bidang Sosial-politik, bidang Intelektual, dan bidang hukum.

1.     Bidang Sosial-Politik

Islamisasi yang semakin meluas di Nusantara diiringi dengan pembentukan kerajaan/kesultanan dan pengembangan ekonomi. Sejak terbentuknya kekuatan dan kekuasaan politik dalam bentuk kerajaan atau kesultanan, umat Islam di Kalimantan berusaha melakukan perluasan islamisasi ke berbagai wilayah yang lebih luas. Namun karena kuatnya kepentingan politik dan ekonomi berdampak pada terjadinya pergesekan dan bahkan peperangan di antara kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri untuk memperebutkan pengaruh dan hegemoni politik. Demi kepentingan ekonomi dan politik, tidak jarang kerajaan-kerajaan Islam menjalin persekutuan dengan kekuatan Eropa untuk menekan kerajaan Islam lain atau untuk mengusir kekuatan Eropa lainnya.[2]

2.     Bidang Intelektual

kontribusi intelektual ulama di kawasan Kalimantan selama rentang 3 abad itu dalam dinamika intelektual Islam di Nusantara, pada abad ke-18 terdapat dua ulama Kalimantan yang menjadi tokoh penting dalam jaringan itu yaitu Muhammad Arsyad al-Banjari dan Muhammad Nafis al-Banjari. Dua ulama ini terlibat dalam pembaruan Islam di Nusantara dan ikut berkontribusi dalam memperkuat neosufisme, yaitu tasawuf sunni yang berorientasi syariat, tidak hanya di wilayah Kalimantan tetapi juga di Nusantara bahkan Asia Tenggara.[3]

3.     Bidang Hukum Islam

Di sejumlah kerajaan Islam atau kesultanan dikembangkan hukum Islam dan perangkat atau lembaga yang menjadi pelaksananya. Para ulama mengajarkan hukum Islam kepada umat Islam dan menulis sejumlah karya mengenai hal itu baik terkait hukum ibadah, munakahat maupun maupun muamalah, termasuk masalah hukum waris. Di antara karya ulama di Kalimantan di bidang hukum Islam yang dipelajari oleh umat Islam adalah Kitab Sabil al-Muhtadin, Kitab an-Nikah, dan Luqtatul Ajlan karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Mufti Kesultanan Banjar).

Pihak kesultanan juga mengadakan jabatan mufti, qadhi, maharaja imam, penghulu dan lainnya yang dijabat oleh para ulama yang dianggap ahli di bidang hukum terutama mereka yang pernah belajar agama ke Timur Tengah (Haramain dan Mesir). Di Kesultanan Banjar terdapat jabatan mufti, qadhi, dan penghulu yang berwenang memutuskan perkara agama, adapula fungsi pengadilan agama yang terdiri dari kepala qadhi, kepala mufti, dan kepala khalifah.

Pihak kesultanan juga menyusun undang-undang kerajaan yang berlaku bagi rakyat kerajaan tersebut. Misalnya, di Kesultanan Banjar ada Undang-Undang Sultan Adam, di Kesultanan Kutai ada undang-undang Panji Sekaten dan Undang-Undang Beraja Niti, di Kerajaan Sintang ada Undang Undang Kerajaan Sintang (UUKS), dan di Kerajaan Sanggau ada Undang Undang Kerajaan Sanggau dan Hukum Adat Kaum Bumi Putra.[4]

Hal yang penting dalam menyebarkan Islam adalah peran dari para Sultan itu sendiri, yang selalu menjadi tauladan bagi rakyatnya, yaitu antar lain dengan senantiasa memakai nama-nama Islam dan bertindak sesuai dengan cara-cara Islam. Tersebarnya agama Islam di daerah kalimanta tidak dilakukan dengan paksaan maupun kekerasan. Ditunjang oleh ajaran Islam yang tidak membeda-bedakan golongan atau kasta, seperti yang ada pada agama Hindu. Faktor lain ialah bahwa peng-Islam-an banyak ditunjang oleh peran dari golongan atas, yaitu pemegang tahta kesultanan Banjarmasin beserta keluarganya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh Raja merupakan contoh yang harus diikuti oleh rakyatnya.[5]

 

B.      Strategi Suatu Kerajaan Dalam Penyebaran Islam Di Kalimantan

Kedatangan islam di Kalimantan tentunya tidak luput dari jaringan islamisasi nusantara. Tidak dapat di ketahui dengan pasti kapan masuknya islam ke Kalimantan. Namun, hal tersebu tidak lepas dari jaringan perdagangan nusantara yang salahsatu penggeraknya adalah para pedagang yang telah memeluk agama islam. Masuknya islam ke Kalimantan tidak hanya melalui jalur perdagangan akan tetapi kerajaan-kerajaan yang ada di Kalimantan juga memiliki peran besar dalam penyebaran islam. Islam masuk ke Kalimantan tidak begitu saja, melainkan dengan stategi-strategi yang dilakukan oleh para kerajaan.

Kerajaan-kerajaan islam yang ada dikawasan Kalimantan ada yang berasal dari kerajaan yang bercorak hindu-budha seperti kesultanan banjar dari kerajaan nagara daha (sebelumnya nagara dipa), kesultanan kutai kartanegara, kesultanan sambas (berasal dari sambas hindu) dan kerajaan-kerajaan lainnya yang bertranspormasi menjadi kerajaan islam atau kesultanan.   

1.     Kerajaan banjar / kesultanan banjar

Sebelum masuknya islam ke Kalimantan selatan , daerah ini telah mendapatkan pengaruh hindu yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Nagara dipa yang menjadi cikal bakal kerajaan hindu-budha pertama di Kalimantan selatan.  Dalam hikayat lambung makurat atau hikayat banjar, [6] menyebutkan bahwa di daerah Kalimantan selatan berdiri sebuah kerajaan yang bercorak hindu yang bernama Nagara dipa yang berlokasi di sekitar amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan Nagara daha yang berlokasi di sekitar nagara.[7]

Proses penyebaran islam di Kalimantan selatan secara terang-terangan dimulai dengan kontak antara pangeran samudera dengan kerajaan demak. Dalam hikayat banjar menceritakan bahwa telah terjadi persengketaan takhta di kerajaan bercorak hindu yaitu Nagara Daha di Kalimantan selatan. Persengketaan atau perebutan kekuasaan itu terjadi antara cucu penguasa daha yaitu pangeran samudera dan pangeran tumenggung yang merupakan pamannya dari pangeran samudera itu sendiri.[8] Pada saat itu, pangeran samudera meminta bantuan pasukan ke kerajaaan demak untuk berperang melawan pamannya yaitu pangeran tumenggung dalam merebut tahta kekuasaan Negara daha. Pada saat itu ia menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya. Atas usul patih masih, pangeran samudera meminta bantuan kepada demak yang merupakan kerajaan terkuat setelah majapahit. Dalam hal ini patih balit diutus menghadap sultan dengan membawa 4000 penggiring dan 10 buah kapal.

Setibanya di demak, patih balit langsung menghadap sultan demak trenggana dengan membawa sepucuk surat dari pangeran samudera. Surat tersebut ditulis dalam bahasa banjar dengan menggunakan huruf arab melayu. [9]

Hubungan banjar dan demak telah terjalin dalam waktu yang lama, terutama dalam hubungan ekonomi perdagangan yang kemudian berlanjut dalam hubungan kemiliteran. Sultan demak menyanggupi permintaan bala bantuan tersebut dengan syarat apabila menang, pangeran samudera dan pengikutnya mau memeluk agama islam. Inilah awal dari penyebaran islam secara terang-terangan dan strategi dilakukan oleh demak ke Kalimantan selatan.

Akhirnya pangeran samudera berhasil mengalahkan pangeran tumenggung dan berhasil merebut Negara daha dan pelabuhan muara bahan. Peristiwa ini terjadi pada 24 september 1526, yang kemudian diabadikan menjadi hari jadi kota Banjarmasin. Salahsatu peristiwa penting dalam proses islamisasi di Kalimantan yang disebutkan dalam hikayat banjar adalah pembicaraan tentang hubungan banjar dengan demak dan proses pengislaman pangeran samudera dan pengikutnya dengan mengutus utusan dari kerajaan demak (penghulu demak). [10]

Setelah kemenangan pangeran samudera dalam melawan pangeran tumenggung. Ia mengosongkan nagara daha dan memindahkan semua penduduknya ke Banjarmasin, hal ini di lakukan karena memandang dari segi ekonomis Nagara, pelabuhan muara bahan yang terletak sekitar 40 km dari muara sungai barito dengan melewati banyak anak sungai yang berkelok-kelok tentunya akan sangat memakan waktu bagi para pedagang untuk menuju kesana. Berbeda dengan pelabuhan Banjarmasin yang berada tepat di muara sungai barito. Hal ini lah yang menjadi pertimbangan pangeran samudera atau dikenal dengan pangeran suriansyah untuk memindahkan ibukota kerajaan ke Banjarmasin. Inilah salahsatu tanda awalnya berdirinya kesultanan banjar.

Pada masa kepemimpinan sultan suriansyah, struktur kepemimpinan yang sebelumnya mengacu pada kerajaan nagara daha yang identik dengan hindu dirubah sesuai dengan tuntunan agama islam. Beliau membuat struktur yaitu mangkubumi, mantri pangiwapanganan, mantri jaksa, tuan panghulu, tuan khalifah, khatib, para dipati dan para pryai. Keputusan sultan suriansyah ini merupakan suatu upaya untuk melakukan internalisasi agama islam dalam struktur birokrsi kerajaan. [11]

2.     Kerajaan Sambas

Islamisasi diwilayah sambas tidak terlepas dari kehadiran dan peran raja tengah dan keluarga beserta di rombongannya diwilayah itu. Di sambas raja tengah membuka wilayah baru yang disebut dengan nama kota bangun. Pada saat itu penguasa sambas adalah ratu sepundak yang berkuasa di kota lama yang menjadi pusat pemerintahan di sambas. Kerajaan sambas dan penguasanya pada saat itu masih beragama hindu yang mana dijalankan oleh mayoritas pejabat-pejabat tinggi beragama Hindu, oleh karenanya abad ke-14 M sampai awal abad ke-17 M, Kerajaan Sambas disebut Kerajaan Hindu. Akan tetapi sudah mulai banyak rakyat sambas yang memeluk agama islam, mengingat raja tengah adalah anak dari sultan brunei yang kekuasaannya juga mempengeruhi wilyah sambas. Bentuk penerimaan, yaitu, perkawinan raden sulaiman (anak raja tengah) dengan mas ayu bungsu (anak bungsu ratu sepundak).

Kerajaan sambas islam kemudian semakin kuat setelah raja kerajaan sambas lama (hindu) yaitu raden mas dungun menyerahkan wilayah kekuasaannya pada kesultanan sambas. Dengan berakhirnya kekuasaan hindu di sambas, maka pengaruh islam semakin meluas dan kuat sehingga perkembangan islam juga semakin cepat karena ditopang oleh kekuasaan politik. Selain itu, kedatangan sejumlah ulama atau pendakwah islam ke sambas pada era sultan umar akamuddin (1671) seperti syekh Abdul Jalil Al-fathani semakin memperkuat upaya islamisasi yenag telah berjalan di sambas.

Ada beberapa alasan lain yang menyebabkan diterimanya Islam di Kerajaan Sambas Tua yaitu pertama, Raja Tengah merupakan anak Sultan Brunei dan Sambas pada masa itu berada di bawah pengaruhnya. Kedua, dikarenakan telah banyak orang-orang muslim lainnya terutama sejak pemerintahan Raja Gipang.

Kedatangan Raja Tengah pada awal abad ke-17 M menjadi awal islamisasi pada konteks Kerajaan Sambas yang menguatkan proses islamisasi pada masa awal. Kemudian penyebaran Islam semakin lebih baik ketika diterimanya Islam oleh puteri Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu saat menikah dengan anak Raja Tengah yang bernama Raden Sulaiman. Meskipun sudah diterimanya Islam sebagai agama oleh puteri Ratu Sepudak, tidak berarti Islam lansung berkembang di lingkungan Istana karena corak Kerajaan Hindu masih tetap bertahan di Kota Lama sampai 10 tahun dari kedatangan Raja Tengah. Walaupun demikian penerimaan Islam oleh putri ratu setidaknya semakin menyuburkan berkembangnya Islam pada masyarakat. Sebagai bukti telah diterimanya Islam di masyarakat dapat dilihat dengan adanya masjid di Kota Lama yang menandakan aktivitas keislaman telah berlansung di sana.

Proses Islamisasi abad ke-17 juga semakin meningkat dengan adanya dua rute laut dari Cina melalui Indo-Cina ke Nusantara. Rute Pertama, yang terus ke Malaya dan pantai Sumatra Timur lalu ke Bangka-Belitung serta pantai Kalimantan Barat, terutama Sambas dan Mempawah. Rute laut kedua, melalui Borneo Utara terus ke Sambas dan pedalaman Sambas dan Mempawah Hulu. Sehingga penyebaran Islam Kesultanan Sambas secara umum dilakukan secara intensif dan menjadi awal terintegrasinya nilai-nilai Islam ke dalam sistem sosial dan politik. Apabila sebelumnya kehadiran Islam terbatas pada pembentukan komunitas muslim di pusat perdagangan, maka pada masa ini Islam mulai mempunyai pengaruh politik yang memungkinkan perkembangannya berlansung semakin efektif dan pengaruhnya semakin mendalam serta membesar pada tata kehidupan masyarakat ditambah lagi telah ada rute-rute masuknya Islam yang mempermudah proses islamisasi di Sambas.[12]

Upaya islamisasi di Kalimantan barat semakin kuat dengan kehadiran para syarif pada abad ke-18, dengan kemunculan ulama dan sultan baru ini, islamisasi di Kalimantan barat semakin intensif tidak hanya di daerah pesisir tetapi juga merambah ke daerah pedalaman. [13]

3.     Kerajaan Kutai Kartanegara

Islamisasi di kutai, berdasarkan buku salasilah kutai yang ditulis oleh D, Adham, dilakukan oleh 2 orang ulama yang bernama tuan tunggang parangan dan tuan ri bandang dari Makassar. Kedua ulama ini datang ke Kalimantan timur pada masa pemerintahan raja makota (Aji Makota) yang berkuasa sebagai raja kutai kartanegara, keduanya datang menghadap raja dan mengajak untuk masuk islam. Setelah raja Mahkota menyatakan keislamannya, Islam mulai berkembang dikampung-kampung disekitar ibu kota kerajaan dan pantai secara bertahap mengikuti jejak rajanya.

Dibawah asuhan Tuan Tunggang Parangan, raja Makota berusaha terus menyebarkan ajaran agama Islam keseluruh wilayah kekuasaannya, sehingga tidak lama kemudian Islam telah menyebar sampai ke wilayah Sangkulirang di utara hingga disekitar sungai jumpi di Selatan dan kepedalaman sampai ke Loa Bakung. Kondisi Islam pada masa awal masih sangat sederhana. [14]

Secara lebih rinci, penyebaran Islam yang dilakukan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara memiliki beberapa strategi yang dilakukan melalui saluran-saluran islamisasi sebagai berikut:

a.     Strategi Jalur Politik

Salah satu pola yang terdapat pada proses islamisasi yang dibawa oleh Tuan Tunggang Parangan adalah menjadikan golongan bangsawan sebagai sasaran utama untuk diislamkan sebelum menyasar pada masyarakat kecil. Hal ini juga terjadi pada Kerajaan Kutai Negara, dimana setelah raja Mahkota menyatakan keislamannya, agama tersebut mulai berkembang di kampung-kampung sekitar ibu kota kerajaan.

Strategi yang dilakukan Kerajaan Kutai Kartanegara melalui jalur politik adalah sinergi antara raja dengan para pemuka agama, seperti yang dilakukan Raja Mahkota dengan Tuan Tunggang Parangan untuk menyebarkan Islam di wilayah kekuasaan kerajaan. Strategi lainnya adalah pengangkatan mangkubumi untuk empat wilayah kekuasaan, yaitu Kuningan Manubar, Sangkulirang, dan Balikpapan. Hal tersebut dilakukan agar Islam dapat tersebar luas ke seluruh wilayah kerajaan, karena adanya otonomi daerah.[15]

Strategi lainnya dari jalur politik adalah melakukan ekspansi ke kerajaan lainnya. Ini terjadi pada masa pemerintaahan Sinom Mandapa mulai mengadakan ekspansi keluar wilayah Kutai Kartanegara. Dalam hubungannya dengan Penyiaran Agama Islam, kemenangannya dalam peperangan tersebut sangat menguntungkan, karena Islam juga tersebar keseluruh wilayah yang telah ditaklukkan, terutama disepanjang sungai Mahakam, termasuk beberapa daerah yang sekarang ini telah menjadi wilayah pemerintah kota Samarinda[16]

b.     Strategi Jalur Perdagangan

Strategi penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dilakukan para pedagang dengan cara menampilkan sikap dan prilaku yang didasarkan pada ajaran agama Islam dalam proses transaksi jual beli. Hal tersebut yang kemudian dapat membuat masyarakat Kutai Kartanegara lebih tertarik dan mudah menerima dan memeluk agama Islam. Selain itu, para pedagang ini juga melakukan dakwah secara konsisten sehingga dakwah yang dilakukan mereka mampu mempengaruhi pemikiran masyarakat setempat dan semakin membuat mereka tertarik dengan agama ini.[17]

c.     Strategi Jalur Perkawinan

Strategi dakwah melalui jalur perkawinan dilakukan dengan menikahi masyarakat setempat. Proses islamisasi melalui jalur ini dapat memperluas penyebaran dakwah Islam, khususnya ketika pernikahan tersebut dilakukakn dengan keluarga istana kerajaan. Dengan menikahi kalangan bangsawan, agama Islam lebih mudah disosialisasikan kepada keluarga-keluarga yang belum menerima Islam secara baik. Selain itu, persyaratan pernikahan dalam Islam yang mengharuskan untuk memeluk agama itu terlebih dahulu membuat masyarakat yang ingin menikah harus masuk islam terlebih dahulu.[18]

d.     Strategi Jalur Pendidikan

Proses penyebaran Islam melalui jalur pendidikan memiliki beberapa startegi, salah satunya adalah membangun fasilitas-fasilitas pendidikan seperti masjid. Kerajaan Kutai Kartanegara memungsikan masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai sarana pendidikan. Startegi lainnya adalah penyediaan sarana pendidikan yang tidak hanya ditujukan untuk mendidik anak-anak, tetapi juga ditujukan kepada orang dewasa yang baru saja masuk Islam. Melalui jalur pendidikan ini, ajaran agama Islam dapat lebih dipahami dan dimengerti oleh para penganutnya. Mereka yang beragama Islam tidak hanya simbol sehingga ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.[19]

Strategi lainnya dapat dilihat dari sistem pengajaran atau pemberian materi yang dilakukan oleh Ulama Tokoh Agama pada saat itu. Materi awal pendidikan dan pengajaran Islam yang diberikan adalah Tauhidullah (Mengesakan Allah Swt.) Hal ini dilakukan agar dapat meluruskan ajaran atau keyakinan yang masyarakat anut tentang Tuhan. Di samping itu, untuk menunjang efektivitas pengajaran Islam, di Ibu kota Kerajaan (Kutai Lama) didirikan sebuah Mesjid besar yang berfungsi sebagai pusat pendidikan terhadap murid-murid yang diharapkan sebagai pemeluk agama yang taat dan sekaligus sebagai generasi penerus penyebaran Islam di masa-masa selanjutnya.

e.     Strategi Jalur Kesenian dan Kebudayaan

Berbagai macam tradisi yang ada pada masyarakat Kerajaan Kutai Kartanegara dilakukan penyesuaian terhadap agama Islam. Tradisi-tradisi yang ada dikembangkan atau diberikan warna-warna Islam sehingga tradisi tersebut tetap ada. Integrasi budaya dengan agama tersebut membuat masyarakat merasa dihargai dan dihormati. Hal tersebut berimplikasi pada masyarakat Kutai Kertanegara dan pengaruhnya pada perkembangan Islam. Oleh karena itu, Islam di kerajaan Kutai Kartanegara dapat berkembang dengan damai melalui jalur ini.[20]

C.     Kerajaan Islam Dengan Islamisasi Terpesat di Kalimantan

1.     Perkembangan Islamisasi Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan

a.     Kesultanan Sambas

Kesultanan Sambas didirikan secara resmi pada tahun 1630 M atau 1040 H dengan wilayah kekuasaan di Kalimantan Barat. Islamisasi kerajaan ini dimulai sejak abad ke-15 M, yang mana ketika itu Islam masih berada di tahap awal kedatangan. Ketika itu Sambas kedatangan pedagang Cina Muslim yang diperkirakan anak buah Ceng Ho yang kemudian membentuk perkampungan dan komunitas muslim.[21]

Islam berkembang cukup baik pada abad ke- 16 M, karena mulai memasuki pusat-pusat pemerintahan. Hal tersebut terlihat dari Ratu Kerajaan Sambas, yaitu Ratu Anom yang memeluk islam untuk memudahkan urusan perniagaan dan mengembangkan hubungan baik dengan Johor dan Brunei. Kemudian pada abad ke- 17 M kedatangan Raja Tengah membuat Mas Ayu,yang merupakan Puteri Ratu Sepundak, memeluk Islam. Akan tetapi Islam pada masa itu tidak langsung berkembang di kalangan kerajaan yang masih bercorak Hindu.[22]

Islamisasi dalam konteks kerajaan baru terjadi pada tahun 1630 M yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Sambas. Islamisasi pada awalnya hanya dilakukan oleh para pedagang muslim dan hanya berkembang di pusat-pusat Pelabuhan sampai kota-kota kecil. Islam baru berkembang pesat setelah terintegrasinya nilai-nilai Islam ke dalam sistem sosial dan politik kesultanan. Oleh karena itu, proses islamisasi di kesultanan Sambas terbilang lebih lambat dari kerajaan lainnya, seperti Kutai dan Banjar.

b.     Kerajaan Kutai Kartanegara

Kutai Kertanegara adalah salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi Kalimantan Timur.. Pusat kerjaan tertua di Indonesia terletak di Kutai Kartanegara. Kerajaan ini berdiri sejak abad 14 M dengan akibat dari ramainya arus perdagangan melalui selat Makassar, sehingga banyak kapa-kapal dari India yang kemudian singgah di Kutai saat melalui Selat Makassar. Dengan adanya hubungan dengan negeri lain, Kerajaan Kutai menjadi berkembang pesat.[23] Kerajaan ini memiliki pengaruh besar terhadap islamisasi, khususnya islamisasi di wilayah Kalimantan Timur.

Perkembangan pesat tersebut berlangsung hingga Pengaruh Islam masuk ke Kerajaan Kutai sejak pemerintahan ke 2, tepatnya pada masa pemerintahan Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360). Akan tetapi, Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan pada dua masa berikutnya, yaitu masa pemerintahan Aji Raja Makota Mulia (1545-1610). Pada masa inilah perhatian terhadap agama Islam semakin besar, salah satunya adalah melalui perubahan bentuk kerajaan menjadi kesultanan.[24]

Sejarawan sepakat bahwa ulama yang pertama kali mengislamkan kerajaan Kutai Kartanegara adalah Tuan Tunggang Parangan yang berasal dari Minang.[25] Cara islamisasi yang dilakukan memakai dua pola, yaitu dari mulai dari masyarakat biasa ke keluarga bangsawan dan dengan bangsawan sebagai sasaran utama lalu ke masyarakat kecil. Pola kedua dinilai lebih cepat, karena ketiga raja dan keluarganya telah masuk islam maka rakyatnya akan diintruksikan untuk mengikuti jejaknya.

Setelah raja Mahkota memeluk Islam, agama tersebut mulai berkembang di kampung-kampung yang ada di sekitar ibu kota kerajaan dan Kawasan pantai secara bertahap. Dengan dibantu Tuan Tunggang Parangan, raja Mahkota berusaha terus menyebarkan Islam ke seluruh wilayah kekuasaan, sehingga tidak berselang lama Islam telah menyebar sampai ke Sangkulirang di utara dan sekitar sungai Jumpi di Selatan, bahkan hingga ke pedalaman Loa Bakung. Selain itu, masjid juga didirikan sebagai pusat pendidikan Islam dan saluran penyebaran islam untuk masa selanjutnya.

Pada masa pemerintahan Raja Aji Dilanggar diadakan pengangkatan seorang mangkubumi, yaitu wadu yang meliputi wilayah Kuningan, Manubar, Sangkulirang, dan Balikpapan. Hal tersebut menandakan bahwa Islam telah tersebar keseluruh wilayah kekuasaaan Kerajaan Kutai. [26]Kemudian pada masa pemerintahan berikutnya, yaitu masa Aji Pangeran Sinom Panji Mandapa dilakukan ekspansi keluar wilayah kerajaan. Ekspansi tersebut dilakukan melalui peperangan dengan Kerajaan Kutai Ing Martadipura di Muara Kamam yang kemudian berhasil ditaklukan sehingga Islam tersebar lebih luas lagi.[27]

c.     Kesultanan Banjar

Kesultanan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar di Kalimantan, hal ini didasari pada kemampuan kerajaan ini dalam mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kalimantan, seperti Kerajaan Paser dan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan Tengah, serta Kerajaan Qodriah, Kerajaan Landak, dan Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat. Kesultanan ini juga memiliki sejarah yang cukup panjang, karena berawal dari masa Hindu-Buddha, yang mana pada masa Negara Dipa kemudian Negara Daha sudah memiliki cakupan wilayah yang cukup luas di Kalimantan.[28]

Proses Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan berpusat pada Pangeran Samudera yang merupakan pewaris sah Kerajaan Negaara Daha. Penyebaran Islam secara terang-terangan dimulai melaui kontak Pangeran Samudera dengan Kerajaan Demak saat meminta bantuan pasukan untuk melawan pamannya, Pangeran Tumenggung, yang merebut tahta. Kontak tersebut dilakukan dengan mengirim surat melalui utusan ke Kerajaan Demak.[29]

Hal menarik dari kontak tersebut adalah surat yang ditulis Pangeran Samudera untuk Kerajaan Demak menggunakan bahasa Arab-Melayu. Hal tersebut menunjukkan bahwa huruf arab telah dikenal oleh Pangeran Samudera sehingga dapat diketahui bahwa masyarakat Islam telah lama terbentuk di Banjarmasin, karena kepandaian membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama.[30]

Demak menyanggupi membantu Pangeran Samaudera sehingga apabila pangeran Samudera memenangi peperangan, maka ia dan pengikutnya harus memeluk agama Islam. Hal tersebutlah yang mengawali penyebaran Islam secara terang-terangan di Kalimantan Selatan. Setelah memenangi peperangan, Pangeran Samudera serta pengikutnya diislamkan oleh utusan penghulu dari Demak yang bernama Khatib Dayan. Pangeran Samudera kemudian diberi gelar Sultan Suryanullah yang lebih dikenal dengan Sultan Suriansyah.

Sultan Suriansyah mengubah struktur kepemimpinan kerajaan Negara Daha yang identik dengan Hindu menjadi sesuai dengan tuntunan agama Islam. Pada struktur tersebut, penghulu memiliki wewenang yang lebih tinggi dari jaksa, karena penghulu mengurus masalah yang menyangkut agama. Selain itu, Sultan Suriansyah juga memisahkan pembicaraan yang menyangkut agama dan dunia, yaitu dengan pembicaraan bidang hukum Islam dengan hukum sekuler.[31]

Menurut K.H. Gusti A. M, agama Islam sebenarnya telah disebarkan dan telah dianut oleh sebaian masyarakat Banjar, bahkan sebelum berdirinya Kesultanan Banjar. Akan tetapi, islam baru berkembang pesat setelah adanya Kesultanan Banjar, yang mana seluruh masyarakat serta para pemuka agamanya serta merta memeluk agama Islam. Perkembangan agama Islam pada saat itu hanya sampai pada pemahaman terhadap Islam, sehingga pemahaman itu belum cukup. Pemahaman masyarakat terhadap Islam semakin berkembang ketika datangnya ulama terkenal Banjarmasin pada tahun 1710, yaitu Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.[32]

 

2.     Cara Penyebaran Islam di Kerajaan Islam Kalimantan

Fase kedatangan Islam di Kalimantan terjadi pada abad ke-7 hingga abad ke-10, sedangkan masa pembentukan komunitas muslim atau perkampungan muslim terjadi pada abad ke-11 hingga abad ke-15, maka abad-abad berikutnya yaitu abad ke-16 hingga abad ke-18 dapat dikatakan sebagai gelombang besar islamisasi yang disertai dengan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam di kawasan Kalimantan pada awal abad ke-16. Islamisasi pada abad ke-16 identik dengan islamisasi raja yang diikuti secara massal oleh rakyatnya, meskipun diketahui bahwa sebelum islamisasi raja telah ada komunitas-komunitas muslim di wilayah kekuasaan raja.[33]

Penyebaran Islam di Kalimantan berkaitan erat dengan peranan dari kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya di Kalimantan Timur, secara umum sejumlah literatur menunjukkan bahwa islamisasi massal penguasa dan rakyat Kutai Kartanegara terjadi pada masa kekuasaan Raja Makota pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Kemudian gelombang besar islamisasi di Kalimantan Selatan berkaitan erat pula dengan masuk Islamnya Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah dan berdirinya Kesultanan Banjar. Perubahan kerajaan di Kalimantan Selatan dari kerajaan bercorak Hindu ke kerajaan Islam pada mula abad ke-16 memiliki pengaruh terhadap penguasa Kutai untuk masuk Islam mengikuti keislaman Sultan Suriansyah.

Secara lebih spesifik, cara penyebaran Islam di wilayah Kalimantan dilakukan melalui beberapa saluran penting. Berikut saluran islamisasi di Kalimantan:

a.   Saluran Dakwah

Penyebaran islam lewat dakwah dilakukan oleh para muballigh profesional atau yang biasa dikenal dengan ulama. Banyak wilayah di Kalimantan yang memiliki makam ulama yang diidentifikasi sebagai penyebar Islam. Ulama-ulama tersebut ada mengembara ke berbagai daerah untuk menyebarkan Islam dan adapula yang menetap di suatu daerah untuk memberikan pembelajaran di daerah tersebut. Kehadiran mereka mulai teridentifikasi pada abad ke-13 dan terus berlangsung hingga abad ke-19.

b.   Saluran Politik

Saluran politik merupakan salah satu cara islamisasi, seperti yang dapat dilihat dari upaya pengislaman raja di Kalimantan. Pengislaman raja dianggap efektif karena agama raja umumnya akan diikuti oleh rakyatnya dan disertai dengan transformasi dari Kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha ke kerajaan atau kesultanan Islam. Beberapa contoh Islamisasi melalui jalur ini di kawasan Kalimantan adalah pengislaman Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) dan Raja Aji Mahkota (raja Kutai) yang terjadi pada abad ke-16.

c.   Saluran Perdagangan

Kawasan Kalimantan dikenal memiliki sejumlah pelabuhan atau bandar niaga yang ramai dikunjungi oleh pedagang Nusantara maupun pedagang internasional yang berasal dari Arab, Persia, India, China dan Eropa. Setidaknya pada abad ke-14 dan 15, telah terdapat beberapa pelabuhan niaga, yang mana pelabuhan-pelabuhan ini disinggahi oleh para pedagang muslim untuk berniaga sekaligus untuk mengenalkan Islam kepada penduduk setempat di setiap Pelabuhan yang mereka singgahi.[34]

d.   Saluran Perkawinan

Yusliani Noor membagi saluran perkawinan menjadi tiga pola, yaitu saluran perkawinan yang dilakukan oleh pedagang muslim, saluran perkawinan bubuhan tutus raja-raja, dan saluran perkawinan bubuhan ulama. Pola pertama, saluran perkawinan pedagang muslim merupakan saluran islamisasi yang mengiringi saluran perdagangan, ini terlihat dari pedagang muslim yang kemudian menikah dengan perempuan-perempuan dari etnis Ngaju, Maanyan, Lawangan, dan Bukit.

Pola kedua, perkawinan yang dilakukan oleh bubuhan raja-raja, seperti perkawinan Sultan Suriansyah dengan beberapa istri dari etnis Ngaju, Bakumpai, etnis Melayu, dan etnis Bukit serta Sultan Rahmatullah yang menikahi perempuan China, Melayu, Bukit, dan Ngaju. Pola terakhir atau yang ketiga yaitu perkawinan ulama, dai atau muballigh dengan perempuan setempat seperti yang terlihat pada perkawinan Khatib Dayan dengan perempuan Dayak Biaju (Ngaju) atau perempuan etnis Bakumpai yang kemudian memiliki anak yang bernama Khatib Banun.[35]

e.   Saluran Pendidikan

Saluran lanjutan dari proses islamisasi di Kalimantan adalah saluran pendidikan yang dinilai banyak membuahkan hasil. Saluran ini berfungsi untuk menanamkan ajaran-ajaran pokok Islam bagi pemula memperdalam dan memperluas pengetahuan keislaman bagi mereka yang sudah memiliki pengetahuan dasar. Saluran pendidikan dapat dilakukan melalui tempat atau lembaga seperti keluarga (pendidikan informal), tempat ibadah (langgar di Kalimantan Selatan dan surau di Kalimantan Barat, dan masjid), rumah ulama (pengajian agama), istana atau rumah raja, dan kemudian pada tahap berikutnya bermunculanlah lembaga khusus. Pada perkembangannya, muncul pendidikan Islam seperti perguruan Dalam Pagar (abad ke-18) dan Madrasah Sulthaniyah di Sambas (akhir abad ke-19). Sebelum dikenal adanya madrasah, terdapat model pendidikan langgar yang biasa disebut dengan langgar batingkat atau barangkap (tingkat dua) yang menjadi tempat belajar agama.[36]

 

3.     Analisis Kerajaan Islam dengan Penyebaran Islam Terpesat

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa Kesultanan Banjar memiliki proses penyebaran Islam tercepat dibandingkan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang ada di Kalimantan. Hal tersebut didasari beberapa faktor berikut:

1)    Kesultanan Banjar merupakan Kerajaan Islam terbesar di Kalimantan dan dapat menyatukan kerajaan-kerajaan kecil, yang mana hal ini berarti turut mengislamkan kerajaan-kerajaan tersebut.

2)    Islam sudah tersebar sebelum berdirinya Kesultanan Banjar, sehingga ketika kesultanan ini berdiri dapat mempercepat proses islamisasi di kalangan masyarakat.

3)    Kesultanan Banjar memiliki peradaban yang lebih maju daripada kerajaan Islam lainnya, khususnya di bidang pengelolaan pemerintahan. Kesultanan ini sudah mengintegrasikan sistem pemerintahan, sosial, hukum dan politik yang disesuaikan dengan ajaran Islam.

4)    Kesultanan Banjar bekerjasama dengan ulama dalam proses dakwah, khususnya Syeikh Arsyad Al-Banjari, sehingga dapat memperdalam agama serta memperluas islamisasi, salah satunya adalah dengan pesantren.

Kesultanan Banjar melakukan berbagai cara dalam menyebarkan Islam di wilayah Kalimantan, khususnya di wilayah kekuasaannya. Beberapa cara tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1)    Merubah Struktur Kepemimpinan

Sultan Suriansyah melakukan upaya penginternalisasian agama Islam ke dalam struktur Kesultanan Banjar dengan mengubah struktur kepemimpinan yang identik dengan Hindu. Pada struktur birokrasi yang baru, terdapat perlakuan berbeda yang terkesan dikhususkan untuk pembahasan mengenai agama Islam. Ini terlihat dari pembedaan pembicaraan mengenai hukum Islam dengan hukum sekuler. Dua hukum tersebut dibicarakan dalam rapat atau musyawarah yang berbeda. Selain itu, dalam struktur ini kewenangan penghulu dianggap lebih tinggi daripada Jaksa, karena mengurusi masalah yang menyangkut agama Islam.[37]

2)    Mencetak Kader Ulama

Pada masa awal, ulama di wilayah kesultanan Banjar masih terbilang sedikit. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader ulama untuk membantu proses islamisasi. Pada masa Sultan Tamjidillah I, kesultanan Banjar berperan besar dalam mencetak kader ulama, yang mana pada saat itu Sultan mengirim Muhammad Arsyad Al-Banjari untuk belajar ke Mekkah agar nanti sepulang dari menuntut ilmu dapat menjadi ulama dan berdakwah.

3)    Bersinergi dengan Para Ulama

Kesultanan Banjar banyak bekerjasama dengan para ulama dalam proses dakwah Islam. Para sultan memfasilitasi para ulama, salah satunya adalah dengan menyediakan tempat kajian. Selain itu, sultan juga turut mendorong para ulama seperti Syeikh Arsyad Al-Banjari untuk menulis buku atau kitab sebagai pegangan umat. Penulisan kitab ini didasari adanya kesadaran dari Syeikh dan Sultan akan keberagaman masyarakat Banjar yang lebih spesifik dan lokalistik diibanding Timur Tengah sehingga memerlukan kitab yang sesuai pula.

4)    Melakukan Integrasi Kebudayaan dengan Islam

Kesultanan Banjar tidak bisa dipisahkan dari bangkitnya budaya spiritual sejak berdirinya kesultanan ini. Bahkan, Suku Banjar sendiri identik dengan agama Islam. Budaya yang dikembangkan oleh kesultanan Banjar lebih menekankan pada budaya Islam, meskipun tidak meninggalkan budaya yang sudah ada pada masyarakat. Oleh karena itu, budaya Islam dijadikan sebagai pondasi dari budaya-budaya masyakarat Banjar sehingga terjadi yang namanya integrasi budaya.Budaya-budaya spiritual merasuk ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Banjar, seperti arsitektur rumah adat Bubungan Tinggi, Baayun Maulid, dan lain sebagainya.[38]

5)    Menjadi Supporter dalam Dakwah Islam

Kesultanan Banjar banyak mengupayakan support terhadap aktivitas dakwah, baik berupa finansial, material, maupun tenaga. Salah satunya terlihat dari tanah dalam pagar yang dijadikan lahan pendirian pesantren Syeikh Arsyad Al-Banjari merupakan tanah milik sultan yang kemudian dihadiahkan. Melalui pesantren tersebut, dakwah Islam semakin menyebar luas bahkan ke daerah-daerah pelosok.[39]



[1]Rahmadi, Islam Kawasan Kalimantan (Banjarmasin: Antasari Press, 2020), h. 116.

[2]Rahmadi,… h. 55.

                             [3]Rahmadi,… h. 64.           

[4]Rahmadi,…h. 69.

[5]Ita Syamtasiyah Ahyat, “Perkembangan Islam Di Kesultanan Banjarmasin,” SOSIOHUMANIKA 8, no. 1 (2015): h. 15.

[6]Hikayat banjar merupakan sebutan umum yang digunakan dalam penyebutan sekumpulan tulisan karya sastra babad atau tambo mengenai kesejarahan kesulthanan banjar memakai aksara atau tulisan melayu –arab (azmira, 2019)

 

[7]Muhammad Azmi, Islam Di Kalimantan Selatan Pada Abad Ke 15 Sampai Abad Ke 17, dalam YUPA : HISTORICAL STUDIES JOURNAL, No. 01, Tahun 2017, h. 42

 

[8]Eliza & Hudaidah, Proses Islamisasi Dan Perkembangan Islam Di Kesultanan Banajarmasin, Dalam Heuristik Jurnal Pendidikan Sejarah, No 1, Tahun 2021, h. 56

 

[9]Adapun bunyi surat tersebut “salam sembah putera andika pangeran di Banjarmasin dating kepada sultan demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean karena putera berebut kerajaan lawan paranah mamarina yaitu namanya pangeran tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jerangan 10 pikul dan lilin 10 pikul”. ( Clecrq, De Vroegtse Geschiedens Van Banjarmasin,, 1877 : 264 dalam U sman,1995 : 22-23)

[10]Muhammad Azmi, Islam Di Kalimantan Selatan…h. 43-44

[11]Muhammad Azmi, Islam Di Kalimantan Selatan…h.44-46

[12]Risa. “Islam di Kerajaan Sambas Antara Abad XV-XVII: Studi Awal Tentang Islamisasi di Sambas”. Jurnal Khatulistiwa. Vol. 4, No. 2, September 2014. h. 113

[13]Rahmadi ….h. 86-87

[14] Nugroho Notosusanto, Sejarah Peradaban Islam, Jilid I (Bandung : NV. Nusa Baru, 1980), h. 65-66.

[15] Dahlan Syahrani, Makalah Sejarah Masuknya agama Islam di kalimantan timur, disampaikan dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di kaliamantan Timur , Tanggal 26-28 Nopember 1998. h. 5

 

[16] Zularfi, Staf Konservasi ,refarasi pemeliharaan koleksi di Museum Tenggarong Tanggal 7-11- 2006

[17] Nugroho Notosusanto, Sejarah Peradaban Islam, Jilid I (Bandung : NV. Nusa Baru, 1980), h. 65-66.

 

[18] Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad 16 sampai Abad ke –17 , (Cet. II ; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 95.

 

 

[20] Budhisantoso dkk., Salasila Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengembangan dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara tahun 1993, h. 138.

 

[21] Risa, “Islam di Kerajaan Sambas Antara Abad XV-XVII: Studi Awal Tentang Islamisasi di Sambas”, Jurnal Khatulistiwa, Vol. 4, No. 2, September 2014, h. 106.

 

[22] Rahmadi, “Membincang Proses Islamisasi di Kawasan Kaimantan dari Berbagai Teori”, Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 2020, h.267.

 

[23] Budhisantoso dkk., Salasila Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengembangan dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara tahun 1993, h. 138

 

[24] Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad 16 sampai Abad ke ²17 , (Cet. II ; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 95.

 

[25] Ahmad M. Sewang , Fungsi Lontara Dalam Historiografi Islam di Sulawesi Selatan Makalah, disampaikan pada pembukaan Kuliah Pascasarjana IAIN Alauddin Ujung Pandang Tanggal 1 September 1998, h.29

 

[26] Dahlan Syahrani, Makalah Sejarah Masuknya agama Islam di kalimantan timur, disampaikan dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di kaliamantan Timur , Tanggal 26-28 Nopember 1998. h. 5

 

[27] Zularfi, Staf Konservasi ,refarasi pemeliharaan koleksi di Museum Tenggarong Tanggal 7-11- 2006

 

[28] Bani Nooe Muhammad dan Naimatul Aufa, “Melacak Arsitektur Keraton Banjar”, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 34, No. 2, Desember 2006: h. 106.

 

[29] Muhammad Azmi, “Islam di Kaimantan Selatan pada Abad Ke-15 sampai abad Ke-17”, Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 1, No.1, 2017, h. 40.

 

[30] M. Suriansyah Ideham, Sejarah Banjar (Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007), 95.

 

[31] Khairuzzaini, “Islamisasi Kerajaan Banjar: Analisis hubungan Kerajaan Demak dengan Kerajaan Banjar atas Masuknya Islam di Kalimantan Selatan”, Tesis, UIN Suna n Kalijaga Yogyakarta, 2011, h.5.

 

[32] Eliza & Hudaidah, “Proses Islamisasi dan Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin”, Heuristik: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 2, Agustus 2021, h. 59.

[33] Ahmad Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan: sejarah masuknya Islam di Kalimantan (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 7.

[34] Didik Pradjoko, Bambang Budi Utomo, dan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya RI Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud, Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2013), h. 216.

[35] Yusliani Noor, “Sejarah Perkembangan Islam Di Banjarmasin Dan Peran Kesultanan Banjar (Abad XV-XIX),” Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 11, no. 2 (2012): 249–500, https://doi.org/10.18592/al-banjari.v11i2.45, h. 267.

 

[36] Muhammad Rahmatullah, “Surau sebagai Pusat Pendidikan Islam pada Masa Kesultanan Pontianak,” At-Turats  Vol. 8, no. 2 (December 1, 2014), https://doi.org/10.24260/at-turats.v8i2.116, h. 116.

[37] Muhammad Azmi, “Islam di Kaimantan Selatan pada Abad Ke-15 sampai abad Ke-17”, Yupa: Historical Studies Journal, Vol. 1, No.1, 2017, h. 45.

 

[38] Ahmad Bardjie B, Refleksi Banua Banjar: Kumpulan Tulisan Seputar Kesultanan Banjar, Sejarah, Agama dan Sosial Budaya, (Martapura: Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2011), h. 6.

 

[39] Kamrani Buseri, “Kesultanan Banjar dan Kepentingan Dakwah Islam”, AL-BANJARI, Vol. 11, No. 2, Juli 2012, h. 222.

Komentar

Postingan Populer