Sejarah- PERKEMBANGAN ISLAM MASA KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
A.
Perkembangan Islam Pada
Masa Kerajaan Islam di Kalimantan
Kerajaan Islam di Kalimantan Umumnya berdiri pada abad ke-16, 17, 18,
namun ada juga yang berdiri pada abad ke-19 berupa kerajaan kecil. Peralihan
dari kerajaan bercorak Hindu ke kerajaan Islam berlangsung dari awal abad ke-16
sampai awal abad ke-17. Setelah itu tidak ada lagi kerajaan yang bercorak hindu
di wilayah Kalimantan.
Berdirinya kerajaan Islam selama 3 abad berturut-turut menjadi masa
penting bagi pertumbuhan agama Islam dan Politik Islam sekaligus menjadi tanda
runtuhnya kekuasaan dan pengaruh Hindu-Budha di kawasan Kalimantan.
Pada awal abad ke-16 islam berkembang secara
luas dan masif di kalangan penduduk kalimantan. Islam mengalahkan agama lain
yang telah ada sebelumnya, baik Hindu-Budha, maupun kepercayaan lokal, seperti
kaharingan dan tetap menjadi agama yang dominan ketika agama kristen masuk
dibawa oleh bangsa-bangsa barat.[1]
Pada masa kerajaan Islam, Islam memiliki kontribusi besar dalam perubahan
dan perkembangan suatu daerah. Kontribusi tersebut terkumpul dalam 3 bidang,
yaitu bidang Sosial-politik, bidang Intelektual, dan bidang hukum.
1. Bidang
Sosial-Politik
Islamisasi yang semakin meluas di Nusantara
diiringi dengan pembentukan kerajaan/kesultanan dan pengembangan ekonomi. Sejak
terbentuknya kekuatan dan kekuasaan politik dalam bentuk kerajaan atau
kesultanan, umat Islam di Kalimantan berusaha melakukan perluasan islamisasi ke
berbagai wilayah yang lebih luas. Namun karena kuatnya kepentingan politik dan
ekonomi berdampak pada terjadinya pergesekan dan bahkan peperangan di antara
kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri untuk memperebutkan pengaruh dan hegemoni
politik. Demi kepentingan ekonomi dan politik, tidak jarang kerajaan-kerajaan
Islam menjalin persekutuan dengan kekuatan Eropa untuk menekan kerajaan Islam
lain atau untuk mengusir kekuatan Eropa lainnya.[2]
2. Bidang
Intelektual
kontribusi intelektual ulama di kawasan
Kalimantan selama rentang 3 abad itu dalam dinamika intelektual Islam di
Nusantara, pada abad ke-18 terdapat dua ulama Kalimantan yang menjadi tokoh
penting dalam jaringan itu yaitu Muhammad Arsyad al-Banjari dan Muhammad Nafis
al-Banjari. Dua ulama ini terlibat dalam pembaruan Islam di Nusantara dan ikut
berkontribusi dalam memperkuat neosufisme, yaitu tasawuf sunni yang
berorientasi syariat, tidak hanya di wilayah Kalimantan tetapi juga di
Nusantara bahkan Asia Tenggara.[3]
3. Bidang
Hukum Islam
Di sejumlah kerajaan Islam atau kesultanan
dikembangkan hukum Islam dan perangkat atau lembaga yang menjadi pelaksananya.
Para ulama mengajarkan hukum Islam kepada umat Islam dan menulis sejumlah karya
mengenai hal itu baik terkait hukum ibadah, munakahat maupun maupun muamalah,
termasuk masalah hukum waris. Di antara karya ulama di Kalimantan di bidang
hukum Islam yang dipelajari oleh umat Islam adalah Kitab Sabil al-Muhtadin,
Kitab an-Nikah, dan Luqtatul Ajlan karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
(Mufti Kesultanan Banjar).
Pihak kesultanan juga mengadakan jabatan mufti,
qadhi, maharaja imam, penghulu dan lainnya yang dijabat oleh para ulama yang
dianggap ahli di bidang hukum terutama mereka yang pernah belajar agama ke
Timur Tengah (Haramain dan Mesir). Di Kesultanan Banjar terdapat jabatan mufti,
qadhi, dan penghulu yang berwenang memutuskan perkara agama, adapula fungsi
pengadilan agama yang terdiri dari kepala qadhi, kepala mufti, dan kepala
khalifah.
Pihak kesultanan juga menyusun undang-undang
kerajaan yang berlaku bagi rakyat kerajaan tersebut. Misalnya, di Kesultanan
Banjar ada Undang-Undang Sultan Adam, di Kesultanan Kutai ada undang-undang
Panji Sekaten dan Undang-Undang Beraja Niti, di Kerajaan Sintang ada Undang
Undang Kerajaan Sintang (UUKS), dan di Kerajaan Sanggau ada Undang Undang
Kerajaan Sanggau dan Hukum Adat Kaum Bumi Putra.[4]
Hal yang penting dalam menyebarkan Islam adalah
peran dari para Sultan itu sendiri, yang selalu menjadi tauladan bagi
rakyatnya, yaitu antar lain dengan senantiasa memakai nama-nama Islam dan
bertindak sesuai dengan cara-cara Islam. Tersebarnya agama Islam di daerah
kalimanta tidak dilakukan dengan paksaan maupun kekerasan. Ditunjang oleh
ajaran Islam yang tidak membeda-bedakan golongan atau kasta, seperti yang ada
pada agama Hindu. Faktor lain ialah bahwa peng-Islam-an banyak ditunjang oleh
peran dari golongan atas, yaitu pemegang tahta kesultanan Banjarmasin beserta
keluarganya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh Raja merupakan contoh yang
harus diikuti oleh rakyatnya.[5]
B. Strategi
Suatu Kerajaan Dalam Penyebaran Islam Di Kalimantan
Kedatangan islam
di Kalimantan tentunya tidak luput dari jaringan islamisasi nusantara. Tidak
dapat di ketahui dengan pasti kapan masuknya islam ke Kalimantan. Namun, hal
tersebu tidak lepas dari jaringan perdagangan nusantara yang salahsatu
penggeraknya adalah para pedagang yang telah memeluk agama islam. Masuknya
islam ke Kalimantan tidak hanya melalui jalur perdagangan akan tetapi
kerajaan-kerajaan yang ada di Kalimantan juga memiliki peran besar dalam
penyebaran islam. Islam masuk ke Kalimantan tidak begitu saja, melainkan dengan
stategi-strategi yang dilakukan oleh para kerajaan.
Kerajaan-kerajaan
islam yang ada dikawasan Kalimantan ada yang berasal dari kerajaan yang
bercorak hindu-budha seperti kesultanan banjar dari kerajaan nagara daha
(sebelumnya nagara dipa), kesultanan kutai kartanegara, kesultanan sambas (berasal
dari sambas hindu) dan kerajaan-kerajaan lainnya yang bertranspormasi menjadi
kerajaan islam atau kesultanan.
1. Kerajaan
banjar / kesultanan banjar
Sebelum masuknya
islam ke Kalimantan selatan , daerah ini telah mendapatkan pengaruh hindu yang
ditandai dengan berdirinya kerajaan Nagara dipa yang menjadi cikal bakal
kerajaan hindu-budha pertama di Kalimantan selatan. Dalam hikayat lambung makurat atau hikayat
banjar, [6] menyebutkan bahwa di
daerah Kalimantan selatan berdiri sebuah kerajaan yang bercorak hindu yang
bernama Nagara dipa yang berlokasi di sekitar amuntai dan kemudian dilanjutkan
dengan Nagara daha yang berlokasi di sekitar nagara.[7]
Proses
penyebaran islam di Kalimantan selatan secara terang-terangan dimulai dengan
kontak antara pangeran samudera dengan kerajaan demak. Dalam hikayat banjar
menceritakan bahwa telah terjadi persengketaan takhta di kerajaan bercorak
hindu yaitu Nagara Daha di Kalimantan selatan. Persengketaan atau perebutan
kekuasaan itu terjadi antara cucu penguasa daha yaitu pangeran samudera dan
pangeran tumenggung yang merupakan pamannya dari pangeran samudera itu sendiri.[8] Pada saat itu, pangeran
samudera meminta bantuan pasukan ke kerajaaan demak untuk berperang melawan
pamannya yaitu pangeran tumenggung dalam merebut tahta kekuasaan Negara daha.
Pada saat itu ia menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan
pengikutnya. Atas usul patih masih, pangeran samudera meminta bantuan kepada
demak yang merupakan kerajaan terkuat setelah majapahit. Dalam hal ini patih
balit diutus menghadap sultan dengan membawa 4000 penggiring dan 10 buah kapal.
Setibanya di
demak, patih balit langsung menghadap sultan demak trenggana dengan membawa
sepucuk surat dari pangeran samudera. Surat tersebut ditulis dalam bahasa
banjar dengan menggunakan huruf arab melayu. [9]
Hubungan banjar
dan demak telah terjalin dalam waktu yang lama, terutama dalam hubungan ekonomi
perdagangan yang kemudian berlanjut dalam hubungan kemiliteran. Sultan demak
menyanggupi permintaan bala bantuan tersebut dengan syarat apabila menang,
pangeran samudera dan pengikutnya mau memeluk agama islam. Inilah awal dari
penyebaran islam secara terang-terangan dan strategi dilakukan oleh demak ke
Kalimantan selatan.
Akhirnya
pangeran samudera berhasil mengalahkan pangeran tumenggung dan berhasil merebut
Negara daha dan pelabuhan muara bahan. Peristiwa ini terjadi pada 24 september
1526, yang kemudian diabadikan menjadi hari jadi kota Banjarmasin. Salahsatu
peristiwa penting dalam proses islamisasi di Kalimantan yang disebutkan dalam
hikayat banjar adalah pembicaraan tentang hubungan banjar dengan demak dan proses
pengislaman pangeran samudera dan pengikutnya dengan mengutus utusan dari
kerajaan demak (penghulu demak). [10]
Setelah
kemenangan pangeran samudera dalam melawan pangeran tumenggung. Ia mengosongkan
nagara daha dan memindahkan semua penduduknya ke Banjarmasin, hal ini di
lakukan karena memandang dari segi ekonomis Nagara, pelabuhan muara bahan yang
terletak sekitar 40 km dari muara sungai barito dengan melewati banyak anak
sungai yang berkelok-kelok tentunya akan sangat memakan waktu bagi para pedagang
untuk menuju kesana. Berbeda dengan pelabuhan Banjarmasin yang berada tepat di
muara sungai barito. Hal ini lah yang menjadi pertimbangan pangeran samudera
atau dikenal dengan pangeran suriansyah untuk memindahkan ibukota kerajaan ke
Banjarmasin. Inilah salahsatu tanda awalnya berdirinya kesultanan banjar.
Pada masa
kepemimpinan sultan suriansyah, struktur kepemimpinan yang sebelumnya mengacu
pada kerajaan nagara daha yang identik dengan hindu dirubah sesuai dengan
tuntunan agama islam. Beliau membuat struktur yaitu mangkubumi, mantri
pangiwapanganan, mantri jaksa, tuan panghulu, tuan khalifah, khatib, para
dipati dan para pryai. Keputusan sultan suriansyah ini merupakan suatu upaya
untuk melakukan internalisasi agama islam dalam struktur birokrsi kerajaan. [11]
2. Kerajaan
Sambas
Islamisasi
diwilayah sambas tidak terlepas dari kehadiran dan peran raja tengah dan
keluarga beserta di rombongannya diwilayah itu. Di sambas raja tengah membuka
wilayah baru yang disebut dengan nama kota bangun. Pada saat itu penguasa
sambas adalah ratu sepundak yang berkuasa di kota lama yang menjadi pusat
pemerintahan di sambas. Kerajaan sambas dan penguasanya pada saat itu masih
beragama hindu yang mana dijalankan oleh mayoritas pejabat-pejabat
tinggi beragama Hindu, oleh karenanya abad ke-14 M sampai awal abad ke-17 M,
Kerajaan Sambas disebut Kerajaan Hindu. Akan tetapi sudah mulai banyak rakyat sambas yang memeluk
agama islam, mengingat raja tengah adalah anak dari sultan brunei yang
kekuasaannya juga mempengeruhi wilyah sambas. Bentuk penerimaan, yaitu,
perkawinan raden sulaiman (anak raja tengah) dengan mas ayu bungsu (anak bungsu
ratu sepundak).
Kerajaan sambas
islam kemudian semakin kuat setelah raja kerajaan sambas lama (hindu) yaitu
raden mas dungun menyerahkan wilayah kekuasaannya pada kesultanan sambas.
Dengan berakhirnya kekuasaan hindu di sambas, maka pengaruh islam semakin
meluas dan kuat sehingga perkembangan islam juga semakin cepat karena ditopang
oleh kekuasaan politik. Selain itu, kedatangan sejumlah ulama atau pendakwah
islam ke sambas pada era sultan umar akamuddin (1671) seperti syekh Abdul Jalil
Al-fathani semakin memperkuat upaya islamisasi yenag telah berjalan di sambas.
Ada beberapa alasan lain yang menyebabkan diterimanya Islam di Kerajaan
Sambas Tua yaitu pertama, Raja Tengah merupakan anak Sultan Brunei dan Sambas
pada masa itu berada di bawah pengaruhnya. Kedua, dikarenakan telah banyak
orang-orang muslim lainnya terutama sejak pemerintahan Raja Gipang.
Kedatangan Raja Tengah pada awal abad ke-17 M menjadi awal islamisasi
pada konteks Kerajaan Sambas yang menguatkan proses islamisasi pada masa awal.
Kemudian penyebaran Islam semakin lebih baik ketika diterimanya Islam oleh
puteri Ratu Sepudak yang bernama Mas Ayu Bungsu saat menikah dengan anak Raja
Tengah yang bernama Raden Sulaiman. Meskipun sudah diterimanya Islam sebagai
agama oleh puteri Ratu Sepudak, tidak berarti Islam lansung berkembang di
lingkungan Istana karena corak Kerajaan Hindu masih tetap bertahan di Kota Lama
sampai 10 tahun dari kedatangan Raja Tengah. Walaupun demikian penerimaan Islam
oleh putri ratu setidaknya semakin menyuburkan berkembangnya Islam pada
masyarakat. Sebagai bukti telah diterimanya Islam di masyarakat dapat dilihat
dengan adanya masjid di Kota Lama yang menandakan aktivitas keislaman telah
berlansung di sana.
Proses Islamisasi abad ke-17 juga semakin meningkat dengan adanya dua
rute laut dari Cina melalui Indo-Cina ke Nusantara. Rute Pertama, yang terus ke
Malaya dan pantai Sumatra Timur lalu ke Bangka-Belitung serta pantai Kalimantan
Barat, terutama Sambas dan Mempawah. Rute laut kedua, melalui Borneo Utara
terus ke Sambas dan pedalaman Sambas dan Mempawah Hulu. Sehingga penyebaran
Islam Kesultanan Sambas secara umum dilakukan secara intensif dan menjadi awal
terintegrasinya nilai-nilai Islam ke dalam sistem sosial dan politik. Apabila
sebelumnya kehadiran Islam terbatas pada pembentukan komunitas muslim di pusat
perdagangan, maka pada masa ini Islam mulai mempunyai pengaruh politik yang
memungkinkan perkembangannya berlansung semakin efektif dan pengaruhnya semakin
mendalam serta membesar pada tata kehidupan masyarakat ditambah lagi telah ada
rute-rute masuknya Islam yang mempermudah proses islamisasi di Sambas.[12]
Upaya islamisasi
di Kalimantan barat semakin kuat dengan kehadiran para syarif pada abad ke-18, dengan
kemunculan ulama dan sultan baru ini, islamisasi di Kalimantan barat semakin
intensif tidak hanya di daerah pesisir tetapi juga merambah ke daerah
pedalaman. [13]
3. Kerajaan Kutai Kartanegara
Islamisasi di kutai, berdasarkan buku salasilah kutai
yang ditulis oleh D, Adham, dilakukan oleh 2 orang ulama yang bernama tuan
tunggang parangan dan tuan ri bandang dari Makassar. Kedua ulama ini datang ke
Kalimantan timur pada masa pemerintahan raja makota (Aji Makota) yang berkuasa
sebagai raja kutai kartanegara, keduanya datang menghadap raja dan mengajak
untuk masuk islam. Setelah
raja Mahkota menyatakan keislamannya, Islam mulai berkembang dikampung-kampung
disekitar ibu kota kerajaan dan pantai secara bertahap mengikuti jejak rajanya.
Dibawah asuhan
Tuan Tunggang Parangan, raja Makota berusaha terus menyebarkan ajaran agama
Islam keseluruh wilayah kekuasaannya, sehingga tidak lama kemudian Islam telah
menyebar sampai ke wilayah Sangkulirang di utara hingga disekitar sungai jumpi
di Selatan dan kepedalaman sampai ke Loa Bakung. Kondisi Islam pada masa awal
masih sangat sederhana. [14]
Secara lebih rinci, penyebaran Islam yang dilakukan
oleh Kerajaan Kutai Kartanegara memiliki beberapa strategi yang dilakukan
melalui saluran-saluran islamisasi sebagai berikut:
a.
Strategi
Jalur Politik
Salah satu pola yang terdapat pada proses islamisasi
yang dibawa oleh Tuan Tunggang Parangan adalah menjadikan golongan bangsawan
sebagai sasaran utama untuk diislamkan sebelum menyasar pada masyarakat kecil.
Hal ini juga terjadi pada Kerajaan Kutai Negara, dimana setelah raja Mahkota
menyatakan keislamannya, agama tersebut mulai berkembang di kampung-kampung
sekitar ibu kota kerajaan.
Strategi yang dilakukan Kerajaan Kutai Kartanegara
melalui jalur politik adalah sinergi antara raja dengan para pemuka agama,
seperti yang dilakukan Raja Mahkota dengan Tuan Tunggang Parangan untuk
menyebarkan Islam di wilayah kekuasaan kerajaan. Strategi lainnya adalah
pengangkatan mangkubumi untuk empat wilayah kekuasaan, yaitu Kuningan Manubar, Sangkulirang, dan
Balikpapan. Hal tersebut dilakukan agar Islam dapat tersebar luas ke seluruh
wilayah kerajaan, karena adanya otonomi daerah.[15]
Strategi
lainnya dari jalur politik adalah melakukan ekspansi ke kerajaan lainnya. Ini
terjadi pada masa pemerintaahan Sinom Mandapa mulai mengadakan ekspansi keluar
wilayah Kutai Kartanegara. Dalam hubungannya dengan Penyiaran Agama Islam,
kemenangannya dalam peperangan tersebut sangat menguntungkan, karena Islam juga
tersebar keseluruh wilayah yang telah ditaklukkan, terutama disepanjang sungai
Mahakam, termasuk beberapa daerah yang sekarang ini telah menjadi wilayah
pemerintah kota Samarinda[16]
b.
Strategi
Jalur Perdagangan
Strategi penyebaran Islam melalui jalur perdagangan
dilakukan para pedagang dengan cara menampilkan sikap dan prilaku yang didasarkan pada
ajaran agama Islam dalam proses transaksi jual beli. Hal tersebut yang kemudian
dapat membuat masyarakat Kutai Kartanegara lebih tertarik dan mudah menerima
dan memeluk agama Islam. Selain itu, para pedagang ini juga melakukan dakwah
secara konsisten sehingga dakwah yang dilakukan mereka mampu mempengaruhi
pemikiran masyarakat setempat dan semakin membuat mereka tertarik dengan agama
ini.[17]
c.
Strategi
Jalur Perkawinan
Strategi dakwah melalui jalur perkawinan dilakukan
dengan menikahi masyarakat setempat. Proses islamisasi melalui jalur ini dapat
memperluas penyebaran dakwah Islam, khususnya ketika pernikahan tersebut
dilakukakn dengan keluarga istana kerajaan. Dengan menikahi kalangan bangsawan,
agama Islam lebih mudah disosialisasikan kepada keluarga-keluarga yang belum menerima Islam
secara baik. Selain itu, persyaratan pernikahan dalam Islam yang mengharuskan
untuk memeluk agama itu terlebih dahulu membuat masyarakat yang ingin menikah
harus masuk islam terlebih dahulu.[18]
d.
Strategi
Jalur Pendidikan
Proses penyebaran Islam melalui jalur pendidikan
memiliki beberapa startegi, salah satunya adalah membangun fasilitas-fasilitas
pendidikan seperti masjid. Kerajaan Kutai Kartanegara memungsikan masjid tidak
hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai sarana pendidikan. Startegi
lainnya adalah penyediaan sarana pendidikan yang tidak hanya ditujukan untuk
mendidik anak-anak, tetapi juga ditujukan kepada orang dewasa yang baru saja
masuk Islam. Melalui jalur pendidikan ini, ajaran agama Islam dapat lebih
dipahami dan dimengerti oleh para penganutnya. Mereka yang beragama Islam tidak
hanya simbol sehingga ajaran agama Islam dapat dilaksanakan dan diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari.[19]
Strategi
lainnya dapat dilihat dari sistem pengajaran atau pemberian materi yang
dilakukan oleh Ulama Tokoh Agama pada saat itu. Materi awal pendidikan dan
pengajaran Islam yang diberikan adalah Tauhidullah (Mengesakan Allah Swt.) Hal
ini dilakukan agar dapat meluruskan ajaran atau keyakinan yang masyarakat anut
tentang Tuhan. Di samping itu, untuk menunjang efektivitas pengajaran Islam, di
Ibu kota Kerajaan (Kutai Lama) didirikan sebuah Mesjid besar yang berfungsi sebagai
pusat pendidikan terhadap murid-murid yang diharapkan sebagai pemeluk agama
yang taat dan sekaligus sebagai generasi penerus penyebaran Islam di masa-masa
selanjutnya.
e.
Strategi
Jalur Kesenian dan Kebudayaan
Berbagai macam tradisi yang ada pada masyarakat
Kerajaan Kutai Kartanegara dilakukan penyesuaian terhadap agama Islam.
Tradisi-tradisi yang ada dikembangkan atau diberikan warna-warna Islam sehingga
tradisi tersebut tetap ada. Integrasi budaya dengan agama tersebut membuat
masyarakat merasa dihargai dan dihormati. Hal tersebut berimplikasi pada masyarakat Kutai
Kertanegara dan pengaruhnya pada perkembangan Islam. Oleh karena itu, Islam di
kerajaan Kutai Kartanegara dapat berkembang dengan damai melalui jalur ini.[20]
C.
Kerajaan Islam Dengan
Islamisasi Terpesat di Kalimantan
1. Perkembangan
Islamisasi Kerajaan-Kerajaan Islam di Kalimantan
a. Kesultanan
Sambas
Kesultanan Sambas didirikan secara resmi pada tahun 1630 M
atau 1040 H dengan wilayah kekuasaan di Kalimantan Barat. Islamisasi kerajaan
ini dimulai sejak abad ke-15 M, yang mana ketika itu Islam masih berada di
tahap awal kedatangan. Ketika itu Sambas kedatangan pedagang Cina Muslim yang
diperkirakan anak buah Ceng Ho yang kemudian membentuk perkampungan dan
komunitas muslim.[21]
Islam berkembang cukup baik pada abad ke- 16 M, karena mulai
memasuki pusat-pusat pemerintahan. Hal tersebut terlihat dari Ratu Kerajaan
Sambas, yaitu Ratu Anom yang memeluk islam untuk memudahkan urusan perniagaan
dan mengembangkan hubungan baik dengan Johor dan Brunei. Kemudian pada abad ke-
17 M kedatangan Raja Tengah membuat Mas Ayu,yang merupakan Puteri Ratu
Sepundak, memeluk Islam. Akan tetapi Islam pada masa itu tidak langsung
berkembang di kalangan kerajaan yang masih bercorak Hindu.[22]
Islamisasi dalam konteks kerajaan baru terjadi pada tahun
1630 M yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Sambas. Islamisasi pada
awalnya hanya dilakukan oleh para pedagang muslim dan hanya berkembang di
pusat-pusat Pelabuhan sampai kota-kota kecil. Islam baru berkembang pesat
setelah terintegrasinya nilai-nilai Islam ke dalam sistem sosial dan politik
kesultanan. Oleh karena itu, proses islamisasi di kesultanan Sambas terbilang
lebih lambat dari kerajaan lainnya, seperti Kutai dan Banjar.
b. Kerajaan
Kutai Kartanegara
Kutai Kertanegara adalah salah satu kabupaten yang terdapat
di Propinsi Kalimantan Timur.. Pusat kerjaan tertua di Indonesia terletak di
Kutai Kartanegara. Kerajaan ini berdiri sejak abad 14 M dengan akibat dari
ramainya arus perdagangan melalui selat Makassar, sehingga banyak kapa-kapal
dari India yang kemudian singgah di Kutai saat melalui Selat Makassar. Dengan
adanya hubungan dengan negeri lain, Kerajaan Kutai menjadi berkembang pesat.[23] Kerajaan ini memiliki
pengaruh besar terhadap islamisasi, khususnya islamisasi di wilayah Kalimantan
Timur.
Perkembangan pesat tersebut berlangsung hingga Pengaruh Islam
masuk ke Kerajaan Kutai sejak pemerintahan ke 2, tepatnya pada masa
pemerintahan Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360). Akan tetapi, Islam
dijadikan sebagai agama resmi kerajaan pada dua masa berikutnya, yaitu masa
pemerintahan Aji Raja Makota Mulia (1545-1610). Pada masa inilah perhatian
terhadap agama Islam semakin besar, salah satunya adalah melalui perubahan
bentuk kerajaan menjadi kesultanan.[24]
Sejarawan sepakat bahwa ulama yang pertama kali mengislamkan
kerajaan Kutai Kartanegara adalah Tuan Tunggang Parangan yang berasal
dari Minang.[25] Cara islamisasi yang
dilakukan memakai dua pola, yaitu dari mulai dari masyarakat biasa ke keluarga
bangsawan dan dengan bangsawan sebagai sasaran utama lalu ke masyarakat kecil.
Pola kedua dinilai lebih cepat, karena ketiga raja dan keluarganya telah masuk
islam maka rakyatnya akan diintruksikan untuk mengikuti jejaknya.
Setelah raja Mahkota memeluk Islam, agama tersebut mulai
berkembang di kampung-kampung yang ada di sekitar ibu kota kerajaan dan Kawasan
pantai secara bertahap. Dengan dibantu Tuan Tunggang Parangan, raja Mahkota
berusaha terus menyebarkan Islam ke seluruh wilayah kekuasaan, sehingga tidak
berselang lama Islam telah menyebar sampai ke Sangkulirang di utara dan sekitar
sungai Jumpi di Selatan, bahkan hingga ke pedalaman Loa Bakung. Selain itu,
masjid juga didirikan sebagai pusat pendidikan Islam dan saluran penyebaran
islam untuk masa selanjutnya.
Pada masa pemerintahan Raja Aji Dilanggar diadakan
pengangkatan seorang mangkubumi, yaitu wadu yang meliputi wilayah Kuningan,
Manubar, Sangkulirang, dan Balikpapan. Hal tersebut menandakan bahwa Islam
telah tersebar keseluruh wilayah kekuasaaan Kerajaan Kutai. [26]Kemudian pada masa
pemerintahan berikutnya, yaitu masa Aji Pangeran Sinom Panji Mandapa dilakukan
ekspansi keluar wilayah kerajaan. Ekspansi tersebut dilakukan melalui
peperangan dengan Kerajaan Kutai Ing Martadipura di Muara Kamam yang kemudian
berhasil ditaklukan sehingga Islam tersebar lebih luas lagi.[27]
c. Kesultanan
Banjar
Kesultanan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar di
Kalimantan, hal ini didasari pada kemampuan kerajaan ini dalam mempersatukan
kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kalimantan, seperti Kerajaan Paser dan
Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan Tengah,
serta Kerajaan Qodriah, Kerajaan Landak, dan Kerajaan Mempawah di Kalimantan
Barat. Kesultanan ini juga memiliki sejarah yang cukup panjang, karena berawal
dari masa Hindu-Buddha, yang mana pada masa Negara Dipa kemudian Negara Daha
sudah memiliki cakupan wilayah yang cukup luas di Kalimantan.[28]
Proses Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan berpusat pada
Pangeran Samudera yang merupakan pewaris sah Kerajaan Negaara Daha. Penyebaran
Islam secara terang-terangan dimulai melaui kontak Pangeran Samudera dengan
Kerajaan Demak saat meminta bantuan pasukan untuk melawan pamannya, Pangeran
Tumenggung, yang merebut tahta. Kontak tersebut dilakukan dengan mengirim surat
melalui utusan ke Kerajaan Demak.[29]
Hal menarik dari kontak tersebut adalah surat yang ditulis
Pangeran Samudera untuk Kerajaan Demak menggunakan bahasa Arab-Melayu. Hal
tersebut menunjukkan bahwa huruf arab telah dikenal oleh Pangeran Samudera
sehingga dapat diketahui bahwa masyarakat Islam telah lama terbentuk di
Banjarmasin, karena kepandaian membaca dan menulis huruf Arab memerlukan waktu
yang cukup lama.[30]
Demak menyanggupi membantu Pangeran Samaudera sehingga
apabila pangeran Samudera memenangi peperangan, maka ia dan pengikutnya harus
memeluk agama Islam. Hal tersebutlah yang mengawali penyebaran Islam secara
terang-terangan di Kalimantan Selatan. Setelah memenangi peperangan, Pangeran
Samudera serta pengikutnya diislamkan oleh utusan penghulu dari Demak yang bernama
Khatib Dayan. Pangeran Samudera kemudian diberi gelar Sultan Suryanullah yang
lebih dikenal dengan Sultan Suriansyah.
Sultan Suriansyah mengubah struktur kepemimpinan kerajaan
Negara Daha yang identik dengan Hindu menjadi sesuai dengan tuntunan agama
Islam. Pada struktur tersebut, penghulu memiliki wewenang yang lebih tinggi
dari jaksa, karena penghulu mengurus masalah yang menyangkut agama. Selain itu,
Sultan Suriansyah juga memisahkan pembicaraan yang menyangkut agama dan dunia,
yaitu dengan pembicaraan bidang hukum Islam dengan hukum sekuler.[31]
Menurut K.H. Gusti A. M, agama Islam sebenarnya telah
disebarkan dan telah dianut oleh sebaian masyarakat Banjar, bahkan sebelum
berdirinya Kesultanan Banjar. Akan tetapi, islam baru berkembang pesat setelah adanya
Kesultanan Banjar, yang mana seluruh masyarakat serta para pemuka agamanya
serta merta memeluk agama Islam. Perkembangan agama Islam pada saat itu hanya
sampai pada pemahaman terhadap Islam, sehingga pemahaman itu belum cukup.
Pemahaman masyarakat terhadap Islam semakin berkembang ketika datangnya ulama
terkenal Banjarmasin pada tahun 1710, yaitu Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari.[32]
2. Cara
Penyebaran Islam di Kerajaan Islam Kalimantan
Fase kedatangan Islam di Kalimantan
terjadi pada abad ke-7 hingga abad ke-10, sedangkan masa pembentukan komunitas
muslim atau perkampungan muslim terjadi pada abad ke-11 hingga abad ke-15, maka
abad-abad berikutnya yaitu abad ke-16 hingga abad ke-18 dapat dikatakan sebagai
gelombang besar islamisasi yang disertai dengan pertumbuhan kerajaan-kerajaan
Islam di kawasan Kalimantan pada awal abad ke-16. Islamisasi pada abad ke-16
identik dengan islamisasi raja yang diikuti secara massal oleh rakyatnya,
meskipun diketahui bahwa sebelum islamisasi raja telah ada komunitas-komunitas
muslim di wilayah kekuasaan raja.[33]
Penyebaran Islam di Kalimantan berkaitan
erat dengan peranan dari kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya di Kalimantan Timur,
secara umum sejumlah literatur menunjukkan bahwa islamisasi massal penguasa dan
rakyat Kutai Kartanegara terjadi pada masa kekuasaan Raja Makota pada akhir
abad ke-16 atau awal abad ke-17. Kemudian gelombang besar islamisasi di
Kalimantan Selatan berkaitan erat pula dengan masuk Islamnya Pangeran Samudera
atau Sultan Suriansyah dan berdirinya Kesultanan Banjar. Perubahan kerajaan di
Kalimantan Selatan dari kerajaan bercorak Hindu ke kerajaan Islam pada mula
abad ke-16 memiliki pengaruh terhadap penguasa Kutai untuk masuk Islam
mengikuti keislaman Sultan Suriansyah.
Secara lebih spesifik, cara penyebaran
Islam di wilayah Kalimantan dilakukan melalui beberapa saluran penting. Berikut
saluran islamisasi di Kalimantan:
a. Saluran
Dakwah
Penyebaran islam lewat dakwah dilakukan oleh para muballigh
profesional atau yang biasa dikenal dengan ulama. Banyak wilayah di Kalimantan
yang memiliki makam ulama yang diidentifikasi sebagai penyebar Islam.
Ulama-ulama tersebut ada mengembara ke berbagai daerah untuk menyebarkan Islam
dan adapula yang menetap di suatu daerah untuk memberikan pembelajaran di
daerah tersebut. Kehadiran mereka mulai teridentifikasi pada abad ke-13 dan
terus berlangsung hingga abad ke-19.
b. Saluran
Politik
Saluran politik merupakan salah satu cara islamisasi, seperti
yang dapat dilihat dari upaya pengislaman raja di Kalimantan. Pengislaman raja
dianggap efektif karena agama raja umumnya akan diikuti oleh rakyatnya dan
disertai dengan transformasi dari Kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha ke
kerajaan atau kesultanan Islam. Beberapa contoh Islamisasi melalui jalur ini di
kawasan Kalimantan adalah pengislaman Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) dan
Raja Aji Mahkota (raja Kutai) yang terjadi pada abad ke-16.
c. Saluran
Perdagangan
Kawasan Kalimantan dikenal memiliki sejumlah pelabuhan atau
bandar niaga yang ramai dikunjungi oleh pedagang Nusantara maupun pedagang
internasional yang berasal dari Arab, Persia, India, China dan Eropa.
Setidaknya pada abad ke-14 dan 15, telah terdapat beberapa pelabuhan niaga,
yang mana pelabuhan-pelabuhan ini disinggahi oleh para pedagang muslim untuk
berniaga sekaligus untuk mengenalkan Islam kepada penduduk setempat di setiap
Pelabuhan yang mereka singgahi.[34]
d. Saluran
Perkawinan
Yusliani Noor membagi saluran perkawinan menjadi tiga pola,
yaitu saluran perkawinan yang dilakukan oleh pedagang muslim, saluran
perkawinan bubuhan tutus raja-raja, dan saluran perkawinan bubuhan ulama. Pola
pertama, saluran perkawinan pedagang muslim merupakan saluran islamisasi yang
mengiringi saluran perdagangan, ini terlihat dari pedagang muslim yang kemudian
menikah dengan perempuan-perempuan dari etnis Ngaju, Maanyan, Lawangan, dan
Bukit.
Pola kedua, perkawinan yang dilakukan oleh bubuhan
raja-raja, seperti perkawinan Sultan Suriansyah dengan beberapa istri dari
etnis Ngaju, Bakumpai, etnis Melayu, dan etnis Bukit serta Sultan Rahmatullah yang
menikahi perempuan China, Melayu, Bukit, dan Ngaju. Pola terakhir atau yang ketiga
yaitu perkawinan ulama, dai atau muballigh dengan perempuan setempat seperti
yang terlihat pada perkawinan Khatib Dayan dengan perempuan Dayak Biaju (Ngaju)
atau perempuan etnis Bakumpai yang kemudian memiliki anak yang bernama Khatib
Banun.[35]
e. Saluran
Pendidikan
Saluran lanjutan dari proses islamisasi di Kalimantan adalah
saluran pendidikan yang dinilai banyak membuahkan hasil. Saluran ini berfungsi
untuk menanamkan ajaran-ajaran pokok Islam bagi pemula memperdalam dan
memperluas pengetahuan keislaman bagi mereka yang sudah memiliki pengetahuan
dasar. Saluran pendidikan dapat dilakukan melalui tempat atau lembaga seperti
keluarga (pendidikan informal), tempat ibadah (langgar di Kalimantan Selatan
dan surau di Kalimantan Barat, dan masjid), rumah ulama (pengajian agama),
istana atau rumah raja, dan kemudian pada tahap berikutnya bermunculanlah
lembaga khusus. Pada perkembangannya, muncul pendidikan Islam seperti perguruan
Dalam Pagar (abad ke-18) dan Madrasah Sulthaniyah di Sambas (akhir abad ke-19).
Sebelum dikenal adanya madrasah, terdapat model pendidikan langgar yang biasa
disebut dengan langgar batingkat atau barangkap (tingkat dua)
yang menjadi tempat belajar agama.[36]
3. Analisis
Kerajaan Islam dengan Penyebaran Islam Terpesat
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa
Kesultanan Banjar memiliki proses penyebaran Islam tercepat dibandingkan
kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang ada di Kalimantan. Hal tersebut didasari
beberapa faktor berikut:
1) Kesultanan
Banjar merupakan Kerajaan Islam terbesar di Kalimantan dan dapat menyatukan
kerajaan-kerajaan kecil, yang mana hal ini berarti turut mengislamkan
kerajaan-kerajaan tersebut.
2) Islam
sudah tersebar sebelum berdirinya Kesultanan Banjar, sehingga ketika kesultanan
ini berdiri dapat mempercepat proses islamisasi di kalangan masyarakat.
3) Kesultanan
Banjar memiliki peradaban yang lebih maju daripada kerajaan Islam lainnya,
khususnya di bidang pengelolaan pemerintahan. Kesultanan ini sudah
mengintegrasikan sistem pemerintahan, sosial, hukum dan politik yang
disesuaikan dengan ajaran Islam.
4) Kesultanan
Banjar bekerjasama dengan ulama dalam proses dakwah, khususnya Syeikh Arsyad
Al-Banjari, sehingga dapat memperdalam agama serta memperluas islamisasi, salah
satunya adalah dengan pesantren.
Kesultanan Banjar melakukan berbagai cara dalam menyebarkan
Islam di wilayah Kalimantan, khususnya di wilayah kekuasaannya. Beberapa cara
tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1) Merubah
Struktur Kepemimpinan
Sultan Suriansyah melakukan upaya penginternalisasian agama
Islam ke dalam struktur Kesultanan Banjar dengan mengubah struktur kepemimpinan
yang identik dengan Hindu. Pada struktur birokrasi yang baru, terdapat
perlakuan berbeda yang terkesan dikhususkan untuk pembahasan mengenai agama
Islam. Ini terlihat dari pembedaan pembicaraan mengenai hukum Islam dengan
hukum sekuler. Dua hukum tersebut dibicarakan dalam rapat atau musyawarah yang
berbeda. Selain itu, dalam struktur ini kewenangan penghulu dianggap lebih
tinggi daripada Jaksa, karena mengurusi masalah yang menyangkut agama Islam.[37]
2) Mencetak
Kader Ulama
Pada masa awal, ulama di wilayah kesultanan Banjar masih
terbilang sedikit. Oleh karena itu, diperlukan kader-kader ulama untuk membantu
proses islamisasi. Pada masa Sultan Tamjidillah I, kesultanan Banjar berperan
besar dalam mencetak kader ulama, yang mana pada saat itu Sultan mengirim
Muhammad Arsyad Al-Banjari untuk belajar ke Mekkah agar nanti sepulang dari
menuntut ilmu dapat menjadi ulama dan berdakwah.
3) Bersinergi
dengan Para Ulama
Kesultanan Banjar banyak bekerjasama dengan para ulama dalam
proses dakwah Islam. Para sultan memfasilitasi para ulama, salah satunya adalah
dengan menyediakan tempat kajian. Selain itu, sultan juga turut mendorong para
ulama seperti Syeikh Arsyad Al-Banjari untuk menulis buku atau kitab sebagai
pegangan umat. Penulisan kitab ini didasari adanya kesadaran dari Syeikh dan
Sultan akan keberagaman masyarakat Banjar yang lebih spesifik dan lokalistik
diibanding Timur Tengah sehingga memerlukan kitab yang sesuai pula.
4) Melakukan
Integrasi Kebudayaan dengan Islam
Kesultanan Banjar tidak bisa dipisahkan dari bangkitnya
budaya spiritual sejak berdirinya kesultanan ini. Bahkan, Suku Banjar sendiri
identik dengan agama Islam. Budaya yang dikembangkan oleh kesultanan Banjar
lebih menekankan pada budaya Islam, meskipun tidak meninggalkan budaya yang
sudah ada pada masyarakat. Oleh karena itu, budaya Islam dijadikan sebagai
pondasi dari budaya-budaya masyakarat Banjar sehingga terjadi yang namanya
integrasi budaya.Budaya-budaya spiritual merasuk ke dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Banjar, seperti arsitektur rumah adat Bubungan Tinggi,
Baayun Maulid, dan lain sebagainya.[38]
5) Menjadi
Supporter dalam Dakwah Islam
Kesultanan Banjar banyak mengupayakan support terhadap
aktivitas dakwah, baik berupa finansial, material, maupun tenaga. Salah satunya
terlihat dari tanah dalam pagar yang dijadikan lahan pendirian pesantren Syeikh
Arsyad Al-Banjari merupakan tanah milik sultan yang kemudian dihadiahkan.
Melalui pesantren tersebut, dakwah Islam semakin menyebar luas bahkan ke
daerah-daerah pelosok.[39]
[1]Rahmadi, Islam Kawasan Kalimantan
(Banjarmasin: Antasari Press, 2020), h. 116.
[2]Rahmadi,…
h. 55.
[4]Rahmadi,…h.
69.
[5]Ita Syamtasiyah Ahyat, “Perkembangan Islam
Di Kesultanan Banjarmasin,” SOSIOHUMANIKA 8, no. 1 (2015): h. 15.
[6]Hikayat banjar merupakan
sebutan umum yang digunakan dalam penyebutan sekumpulan tulisan karya sastra
babad atau tambo mengenai kesejarahan kesulthanan banjar memakai aksara atau
tulisan melayu –arab (azmira, 2019)
[7]Muhammad Azmi, Islam Di
Kalimantan Selatan Pada Abad Ke 15 Sampai Abad Ke 17, dalam YUPA :
HISTORICAL STUDIES JOURNAL, No. 01, Tahun 2017, h. 42
[8]Eliza & Hudaidah, Proses
Islamisasi Dan Perkembangan Islam Di Kesultanan Banajarmasin, Dalam
Heuristik Jurnal Pendidikan Sejarah, No 1, Tahun 2021, h. 56
[9]Adapun bunyi surat tersebut
“salam sembah putera andika pangeran di Banjarmasin dating kepada sultan demak.
Putera andika menantu nugraha minta tolong bantuan tandingan lawan sampean
karena putera berebut kerajaan lawan paranah mamarina yaitu namanya pangeran
tumenggung. Tiada dua-dua putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka
persembahan putera andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah,
damar 1.000 kandi, jerangan 10 pikul dan lilin 10 pikul”. ( Clecrq, De
Vroegtse Geschiedens Van Banjarmasin,, 1877 : 264 dalam U sman,1995 :
22-23)
[10]Muhammad Azmi, Islam Di
Kalimantan Selatan…h. 43-44
[11]Muhammad Azmi, Islam Di
Kalimantan Selatan…h.44-46
[12]Risa. “Islam di Kerajaan
Sambas Antara Abad XV-XVII: Studi Awal Tentang Islamisasi di Sambas”. Jurnal
Khatulistiwa. Vol. 4, No. 2, September 2014. h. 113
[13]Rahmadi ….h. 86-87
[14] Nugroho Notosusanto,
Sejarah Peradaban Islam, Jilid I (Bandung : NV. Nusa Baru, 1980), h. 65-66.
[15] Dahlan Syahrani, Makalah
Sejarah Masuknya agama Islam di kalimantan timur, disampaikan dalam Seminar
Sejarah Masuknya Agama Islam di kaliamantan Timur , Tanggal 26-28 Nopember
1998. h. 5
[16] Zularfi, Staf Konservasi
,refarasi pemeliharaan koleksi di Museum Tenggarong Tanggal 7-11- 2006
[17] Nugroho Notosusanto,
Sejarah Peradaban Islam, Jilid I (Bandung : NV. Nusa Baru, 1980), h. 65-66.
[18] Ahmad M. Sewang,
Islamisasi Kerajaan Gowa Abad 16 sampai Abad ke –17 , (Cet. II ; Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 95.
[20] Budhisantoso dkk.,
Salasila Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Pengembangan dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara tahun 1993, h. 138.
[21]
Risa, “Islam di Kerajaan Sambas Antara Abad XV-XVII: Studi Awal Tentang
Islamisasi di Sambas”, Jurnal Khatulistiwa, Vol. 4, No. 2, September
2014, h. 106.
[22]
Rahmadi, “Membincang Proses Islamisasi di Kawasan Kaimantan dari Berbagai
Teori”, Khazanah: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, 2020, h.267.
[23]
Budhisantoso dkk., Salasila Kutai, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,
Proyek Pengembangan dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara tahun 1993, h. 138
[24]
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad 16 sampai Abad ke ²17 , (Cet. II
; Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 95.
[25]
Ahmad M. Sewang , Fungsi Lontara Dalam Historiografi Islam di Sulawesi Selatan
Makalah, disampaikan pada pembukaan Kuliah Pascasarjana IAIN Alauddin Ujung
Pandang Tanggal 1 September 1998, h.29
[26]
Dahlan Syahrani, Makalah Sejarah Masuknya agama Islam di kalimantan timur,
disampaikan dalam Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam di kaliamantan Timur ,
Tanggal 26-28 Nopember 1998. h. 5
[27]
Zularfi, Staf Konservasi ,refarasi pemeliharaan koleksi di Museum Tenggarong
Tanggal 7-11- 2006
[28]
Bani Nooe Muhammad dan Naimatul Aufa, “Melacak Arsitektur Keraton Banjar”, Jurnal
Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 34, No. 2, Desember 2006: h. 106.
[29]
Muhammad Azmi, “Islam di Kaimantan Selatan pada Abad Ke-15 sampai abad Ke-17”, Yupa:
Historical Studies Journal, Vol. 1, No.1, 2017, h. 40.
[30]
M. Suriansyah Ideham, Sejarah Banjar (Banjarmasin: Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2007), 95.
[31]
Khairuzzaini, “Islamisasi Kerajaan Banjar: Analisis hubungan Kerajaan Demak
dengan Kerajaan Banjar atas Masuknya Islam di Kalimantan Selatan”, Tesis, UIN
Suna n Kalijaga Yogyakarta, 2011, h.5.
[32]
Eliza & Hudaidah, “Proses Islamisasi dan Perkembangan Islam di Kesultanan
Banjarmasin”, Heuristik: Jurnal Pendidikan Sejarah, Vol. 1, No. 2,
Agustus 2021, h. 59.
[33] Ahmad Basuni, Nur Islam
di Kalimantan Selatan: sejarah masuknya Islam di Kalimantan (Surabaya: Bina
Ilmu, 1986), h. 7.
[34] Didik Pradjoko, Bambang
Budi Utomo, dan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya RI Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Kemdikbud, Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia
(Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 2013), h. 216.
[35] Yusliani Noor, “Sejarah
Perkembangan Islam Di Banjarmasin Dan Peran Kesultanan Banjar (Abad XV-XIX),”
Al-Banjari: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 11, no. 2 (2012): 249–500, https://doi.org/10.18592/al-banjari.v11i2.45,
h. 267.
[36] Muhammad Rahmatullah,
“Surau sebagai Pusat Pendidikan Islam pada Masa Kesultanan Pontianak,” At-Turats Vol. 8, no. 2 (December 1, 2014), https://doi.org/10.24260/at-turats.v8i2.116,
h. 116.
[37]
Muhammad Azmi, “Islam di Kaimantan Selatan pada Abad Ke-15 sampai abad Ke-17”, Yupa:
Historical Studies Journal, Vol. 1, No.1, 2017, h. 45.
[38]
Ahmad Bardjie B, Refleksi Banua Banjar: Kumpulan Tulisan Seputar Kesultanan
Banjar, Sejarah, Agama dan Sosial Budaya, (Martapura: Pustaka Agung Kesultanan
Banjar, 2011), h. 6.
[39]
Kamrani Buseri, “Kesultanan Banjar dan Kepentingan Dakwah Islam”, AL-BANJARI,
Vol. 11, No. 2, Juli 2012, h. 222.
Komentar
Posting Komentar
silahkan berkomentar :)